BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latarbelakang
Teknologi
informasi saat ini sudah bersifat global, terutama dengan digunakannya
internet. Globalisasi yang timbul sudah menyatu dengan berbagai aspek
kehidupan, baik di bidang sosial, iptek, kebudayaan, ekonomi dan nilai-nilai
budaya lain. Kemajuan teknologi informasi khususnya media internet, dirasakan
banyak memberikan manfaat seperti dari segi keamanan, kenyamanan dan kecepatan.
Contoh sederhana, dengan dipergunakan internet sebagai sarana pendukung dalam
pemesanan/reservasi tiket (pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran
tagihan telepon, listrik, telah membuat konsumen semakinnyaman dan aman dalam
menjalankan aktivitasnya. Kecepatan melakukan transaksi perbankan melalui
e-banking, memanfaatkan e-commerce untuk mempermudah melakukan pembelian
danpenjualan suatu barang serta menggunakan e-library dan e-learning untuk
mencari referensi atau informasi ilmu pengetahuan yang dilakukan secara online
karena dijembatani oleh teknologi internet baik melalui komputer atau pun hand
phone. Pemanfaatan teknologi internet juga tidak dapat dipungkiri membawa
dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat positif yang ada.
Internet
membuat kejahatan yang semula bersifat konvensional seperti pengancaman,
pencurian, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, penipuan hingga tindak
pidana terorisme kini melalui media internet beberapa jenis tindak pidana
tersebut dapat dilakukan secara on line oleh individu maupun kelompok dengan
resiko tertangkap yang sangat kecil dengan akibat kerugian yang lebih besar
baik untuk masyarakat maupun Negara [1].
Globalisasi
dan perkembangan teknologi informasi banyak mempengaruhi berbagai jenis
kejahatan yang ada, dan dimungkinkan muncul jenis kejahatan baru seiring dengan
perkembangan yang timbul. Fenomena tindak pidana teknologi informasi merupakan
bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk
kejahatan lain yang sifatnya konvensional. Tindak pidana teknologi informasi
muncul bersamaan dengan lahirnya revolusi teknologi informasi. Sebagaimana
dikemukakan oleh Ronni R.Nitibaskara bahwa:[2] ”Interaksi sosial yang meminimalisir
kehadiran secara fisik, merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi.
Dengan interaksi semacam ini, penyimpangan hubungan sosial berupa kejahatan
(crime) akan menyesuaikan bentuknya dengan karakter tersebut.”
Berbagai
jenis kejahatan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan berbagai alat,
termasuk dengan menggunakan kemajuan di bidang teknologi informasi, baik
melalui internet maupun pesawat selular (handphone). Internet merupakan suatu
dunia maya, dengan kata lain dunia tanpa batas (borderless). Melalui internet
dapat menjelajah berbagai situs yang ada, melewati batas suatu negara.
Apabila
kita berbicara tentang batas suatu negara, hal tersebut langsung berhubungan
dengan yurisdiksi negara tersebut, yaitu mengenai kewenangan suatu negara untuk
menegakkan hukum diwilayahnya. Oleh karena itu dalam penyelesaian kasus
kejahatan siber, ada berbagai kendala yang sering kali ditemui oleh penegak
hukum suatau negara untuk menindak pelaku kejahatan yang berada di wilayah
yurisdiksi negara lain. Karena perlu adanya penjelasan mengenai pelakasanaan
penegakan hukum kasus cyber crime ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah
yang dimaksud dengan Cyber Crime?
2. Bagaimanakah
Penyelesaian Pertentangan Yurisdiksi dalam Kasus Cyber Crime?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain :
1.
Menjelaskan tentang
pengertian Cyber Crime.
2.
Menjelaskan tentang
penyelesaian pertentangan Yurisdiksi dalam Kasus Cyber Crime.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini,
antara lain :
1.
Dapat memberikan
penjelasan tentang pengertian Cyber Crime.
2.
Dapat memberikan
penjelasan tentang penyelesaian Yurisdiksi dalam Kasus Cyber Crime.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Cyber Crime
Berbicara
masalah cyber crime tidak lepas dari permasalahan keamanan jaringan komputer
atau keamanan informasi berbasis internet dalam era global ini, apalagi jika
dikaitkan dengan persoalan informasi sebagai komoditi. Informasi sebagai
komoditi memerlukan kehandalan pelayanan agar apa yang disajikan tidak
mengecewakan pelanggannya. Untuk mencapai tingkat kehandalan tentunya informasi
itu sendiri harus selalau dimutakhirkan sehingga informasi yang disajikan tidak
ketinggalan zaman. Kejahatan dunia maya (cyber crime) ini muncul seiring dengan
perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat.
Untuk
lebih mendalam ada beberapa pendapat di bawah ini tentang apa yang dimaksud
dengan cyber crime? Di antaranya adalah Menurut Kepolisian Ingris, Cyber crime
adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau
kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital
[3].
Sedangkan
menurut Peter, Cyber crime adalah “The easy definition of cyber crime is crimes
directed at a computer or a computer system. The nature of cyber crime,
however, is far more complex. As we will see later, cyber crime can take the
form of simple snooping into a computer system for which we have no
authorization. It can be the feeing of a computer virus into the wild. It may
be malicious vandalism by a disgruntled employee. Or it may be theft of data,
money, or sensitive information using a computer system.” [4]
Indra Safitri mengemukakan bahwa kejahatan dunia maya adalah jenis kejahatan
yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta
memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang
mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah
informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet.[5]
2.2 Pengertian Yurisdiksi
Yurisdiksi
merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara
tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki yurisdiksi, [6]
persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan
berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya
(equal states don’t have jurisdiction over each other) [7],
dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain.
Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum „par in parem non habet
imperium”.[8]
Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par
in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu
negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap
tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua,
suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat
mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari
perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak
mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam
wilayah negaranya.[9]
Kata
“yurisdiksi” sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris
“Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”,
yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum,
dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat
disimpulkan yurisdiksi berarti:
a. Kepunyaan
seperti yang ditentukan oleh hukum.
b. Hak
menurut hukum.
c. Kekuasaan
menurut hukum.
d. Kewenanagan
menurut hukum.
Secara
singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa
yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan
“kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan
hukum”. Di dalamnya tercakup “hak”, “kekuasaan”, dan “kewenangan”. Yang paling
penting adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum,
bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan kekuasaan.
Anthony
Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International
Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi Negara dengan menyatakan
sebagai berikut : “Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari
suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan
tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak
individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau
peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri”.[10] Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan di atas, yang termasuk dalam unsur-unsur yurisdiksi
negara adalah :
a. Hak,
kekuasaan, dan kewenangan.
b. Mengatur
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
c. Obyek
(hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda).
d. Tidak
semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic
concern).
e. Hukum
internasional (sebagai dasar/landasannya).
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu: [11]
1. Kekuasaan
mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;
2. Lingkungan
hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan kerja
tertentu; kekuasaan hukum.
Menurut
Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap
orang, benda, atau peristiwa (hukum). [12]
Yurisdiksi menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda,
peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada di luar negara
tersebut.
2.3 Pengertian Internet
Internet
(Interconnected Network) merupakan jaringan global yang menghubungkan komputer
yang satu dengan lainnya diseluruh dunia. Dengan Internet, komputer dapat
saling terhubung untuk berkomunikasi, berbagi dan memperoleh informasi. Dengan begitu maraknya informasi dan kegiatan
di Internet, menjadikan Internet seakan-akan sebagai dunia tersendiri yang tanpa
batas. Dunia didalam Internet disebut juga dengan dunia maya (cyberspace).
internet (dengan huruf “i” bukan
kapital) sebenarnya adalah suatu sistem global jaringan komputer yang saling
terhubung menggunakan standar internet protokol (TCP/IP). Rangkaian internet
yang terbesar disebut Internet (dengan huruf “i” kapital). Jadi internet adalah
sebuah sistem dan Internet merupakan nama dari salah satu sistem terbesarnya.
Informasi
dalam Internet umumnya disebarkan melalui suatu halaman website yang dibuat
dengan format bahasa pemrograman HTML (Hypertext Markup Languange). Untuk dapat
menampilkan halaman website diperlukan suatu perangkat lunak aplikasi yang
disebut dengan browser. Mozilla Firefox, Opera, Google Chrome, Safari dan
Internet Explorer merupakan contoh dari browser. Halaman utama suatu website
disebut dengan homepage. Dari halaman utama kita dapat membuka berbagai macam
informasi melalui tombol yang disebut dengan link. Link dapat menghubungkan
kita dengan halaman atau website lainnya, sehingga informasi yang dapat kita
peroleh menjadi kaya. Layanan berupa situs yang digunakan dalam memudahkan
pencarian informasi disebut dengan Web Search Engine. Contoh dari web search
engine adalah Google, Yahoo, dan Bing. Dengan web search engine kita cukup
menuliskan kata kunci dari informasi yang akan kita cari, dan dalam hitungan
detik informasi tersebut dapat ditemukan. Misalnya dalam mencari informasi
tentang artis favorit, kita tinggal mengetik nama artis tersebut sebagai kata
kunci di web search engine.
Kemudahan-kemudahan
yang ditawarkan oleh layanan Internet telah mengubah cara pandang dan hidup
manusia. Berbagai bidang kehidupan bisa dilakukan secara elektronik. Kini orang
dengan mudah dapat membeli barang-barang yang diinginkan hanya dengan membuka
komputer dimanapun dia berada dan melakukan transaksi secara online. Dari hal
tersebut munculah istilah E-commerce (electronic commerce) yang dapat berarti
perdagangan lewat dunia maya. Ada pula E-government (electronic government)
yang berarti interaksi digital antara pemerintahan dan masyarakat. Dengan
adanya e-government memungkinkan transparansi di bidang pemerintahan sehingga
informasi tentang pemerintahan dapat diketahui oleh masyarakat, tentunya hal
ini akan meningkatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah.
Selain itu proses birokrasi yang rumit dapat dihapuskan sehingga lebih
memudahkan pelayanan pemerintah bagi masyarakat. Terdapat pula istilah-istilah
“E” yang lain dalam berbagai sektor kehidupan, seperti E-Bussiness, E-education
dan lain sebagainya.[13]
METODE PENULISAN
3.1 Teknik
Penulisan
Teknik
penulisan yang digunakan dalam skripsi minor ini adalah penulisan yang bertumpu
kepada studi kepustakaan. Menurut bentuknya, penulisan ini adalah penulisan
prespkriptif, menurut tujuannya adalah pembahasan substantif share, sedangkan
menurut penerapannya adalah penulisan berfokus masalah, dan menurut ilmu yang
dipergunakan adalah penelitian muonodisipliner.
3.2
Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan skripsi minor ini disusun sebagai berikut :
Bab I :
Pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penulisan
yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
Bab II : Tinjauan pustaka yang menyajikan
pengertian dasar yang diperoleh dari literatur-literatur yang telah
dikumpulkan.
Bab III : Metode penulisan disajikan dengan
menggunakan teknik penulisan, sistematika penulisan, pengumpulan dan pengolahan
data.
Bab IV : Pembahasan yang berisi analisis
permasalahan berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan secara runtut.
Bab V : Penutup berisi kesimpulan dan saran
sebagaimana akhir penulisan yang diselaraskan dengan kerangka pemikiran
sebelumnya.
3.3 Jenis
dan Sumber Data
Jenis
dan sumber data yang digunakan oleh penulis dibagi menjadi dua jenis yaitu Data
Primer dan Data Sekunder. Data Primer adalah data-data faktual yang diambil
secara langsung oleh penulis dari berbagai pihak terkait dengan tema yang
diangkat oleh penulis. Sedangkan Data Sekunder adalah data yang diambil dari beberapa
referensi baik berupa artikel, karya ilmiah, buku dan sebagainya, yang
merupakan sumber tambahan sebagai pelengkap ataupun penguat Data Primer.
3.4 Teknik
Pengumpulan Data
Penulis
menggunakan teknik pengumpulan data melalui metode penelitian kepustakaan,
buku-buku, jurnal ilmiah literature research, media massa serta situs internet
yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Data diolah dengan teknik content
analisis untuk menghasilkan kesimpulan.
3.5 Analisis
Data
Data-data
yang telah dikumpulkan oleh penulis kemudian dianalisa dari berbagai segi.
Penganalisaan data dilakukan berdasarkan sinkronisasi data dengan tema yang
diangkat oleh penulis, keobyektifan data, kefaktualan data, kesesuaian data yang diambil dari berbagai
sumber dan sebagainya. Tujuan penganalisaan data ini adalah agar data yang
kemudian dimasukkan dalam karya tulis
ini memiliki landasan yang cukup kuat untuk dipertanggungjawabkan oleh
penulis.
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Pemahaman Cyber Crime Sebagai Kejahatan
Terdapat
beragam pemahaman mengenai cybercrime. Namun bila dilihat dari asal katanya,
cybercrime terdiri dari dua kata, yakni “cyber” dan “crime”. Kata “cyber”
merupakan singkatan dari “cyberspace”, yang berasal dari kata “cybernetics” dan
“space” Istilah cyberspace muncul pertama kali pada tahun 1984 dalam novel
William Gibson yang berjudul Neuromancer [14].
Cyberspace oleh Gibson didefenisikan sebagai:
Cyberspace.
A consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate
operators, in every nation ….. A graphic representation of data abstracted from
banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of
light ranged in the nonspace of the mind, clusters and constellations of data.
Like city lights, receding.
Dari
defenisi di atas dapat dilihat bahwa pada mulanya istilah cyberspace tidak
ditujukan untuk menggambarkan interaksi yang terjadi melalui jaringan komputer.
Pada tahun 1990 oleh John Perry Barlow istilah cyberspace diaplikasikan untuk
dunia yang terhubung atau online ke internet.
Bruce
Sterling kemudian memperjelas pengertian cyberspace, yakni:
Cyberspace
is the ‘place’ where a telephone conversation appears to occur. Not your desk.
Not inside the other person’s phone in some other city. The place between the
phone. The indefinite place out there, where the two of you, two human beings,
actually meet and communication [15].
Menurut
Kepolisian Ingris, Cyber crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer
untuk tujuan kriminal dan/atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan
kemudahan teknologi digital [16].
Sedangkan
menurut Peter, Cyber crime adalah “The easy definition of cyber crime is crimes
directed at a computer or a computer system. The nature of cyber crime,
however, is far more complex. As we will see later, cyber crime can take the
form of simple snooping into a computer system for which we have no
authorization. It can be the feeing of a computer virus into the wild. It may
be malicious vandalism by a disgruntled employee. Or it may be theft of data,
money, or sensitive information using a computer system [17].”
Dalam
dua dokumen Kongres PBB yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, mengenai The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Havana Cuba pada tahun
1990 dan di Wina Austria pada tahun 2000, menjelaskan adanya dua istilah yang
terkait dengan pengertian Cyber crime, yaitu cyber crime dan computer related
crime[18].
Dalam back ground paper untuk lokakarya Kongres PBB X/2000 di Wina Austria,
istilah cyber crime dibagi dalam dua kategori. Pertama, cyber crime dalam arti
sempit (in a narrow sense) disebut computer crime. Kedua, cyber crime dalam
arti luas (in a broader sense) disebut computer related crime. Lengkapnya
sebagai berikut:
1.
Cyber crime in a narrow sense (computer
crime): any legal behaviour directed by means of electronic operations that
targets the security of computer system and the data processed byh them.
2.
Cyber
crime in a broader sense (computer related crime): any illegal behaviour
committed by means on in relation to, a computer system or network, including
such crime as illegal possession, offering or distributing information by means
of a computer system or network.
Pengertian
computer dalam The Proposed West Virginia Computer Crimes Act adalah “an
electronic, magnetic, optical, electrochemical or other high speed data
processing device performing logical, arithmetic, or storage functions, and
includes any data storage facility or communications facility directly related
to or operating in conjunction with such device, but such term does not include
an automated typewriter or typewriter or typesetter, a portable handheld
calculator, or other similar device”.
Dari
beberapa defenisi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
cyberspace merupakan sebuah ruang yang tidak dapat terlihat. Ruang ini tercipta
ketika terjadi hubungan komunikasi yang dilakukan untuk menyebarkan suatu
informasi, dimana jarak secara fisik tidak lagi menjadi halangan. Sedangkan
“crime” berarti “kejahatan”. Seperti halnya internet dan cyberspace, terdapat
berbagai pendapat mengenai kejahatan. Menurut B. Simandjuntak kejahatan
merupakan “suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat
dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.” Sedangkan Van
Bammelen merumuskan:
Kejahatan
adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan
begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga
masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas
kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan
tersebut.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa unsur penting dari kejahatan adalah:
1. Perbuatan
yang anti social
2. Merugikan
dan menimbulkan ketidaktenangan masyarakat
3. Bertentangan
dengan moral masyarakat.
Bila
dicari padanan katanya di dalam Bahasa Indonesia, “cybercrime” dapat diartikan
sebagai “kejahatan siber”. Hal ini sesuai dengan istilah yang digunakan oleh
Ahmad M. Ramli untuk mengartikan “cyber law”, yang padanan katanya “hukum
siber”. Namun ada juga pakar yang mengidentikkan istilah cyber dengan dunia
maya. Sehingga mereka menggunakan istilah ‘kejahatan mayantara’ atau ‘kejahatan
dunia maya.’ Namun menurut Ahmad M. Ramli, penggunaan istilah dunia maya akan
menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya.
Karena para penegak hukum akan kesulitan untuk membuktikan suatu persoalan yang
maya. Oleh karena itu istilah yang dipandang tepat ialah kejahatan siber.
Hingga
saat ini terdapat beragam pengertian mengenai kejahatan siber. Namun bila
dilihat dari pengertian cyberspace dan crime, terdapat beberapa pendapat pakar
yang dapat menggambarkan dengan jelas seperti apa kejahatan siber itu, yakni:
Menurut
Ari Juliano Gema, kejahatan siber adalah kejahatan yang lahir sebagai dampak
negatif dari perkembangan aplikasi internet. Sedangkan menurut Indra Safitri
mengemukakan bahwa kejahatan dunia maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan
dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki
karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan
kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang
disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet [19].
Selain
pendapat kedua pakar tersebut, masih banyak pakar yang memberikan pengertian
mengenai kejahatan siber. Namun sebagian besar belum menetapkan batas-batas
yang jelas antara kejahatan siber dan kejahatan komputer.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik kejahatan siber adalah:
Perbuatan
anti sosial yang muncul sebagai dampak negatif dari pemanfaatan teknologi
informasi tanpa batas.
Memanfaatkan
rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas
dari sebuah informasi. Salah satu rekayasa teknologi yang dimanfaatkan adalah
internet.
Perbuatan
tersebut merugikan dan menmbulkan ketidaktenangan di masyarakat, serta
bertentangan dengan moral masyarakat
Perbuatan
tersebut dapat terjadi lintas negara. Sehingga melibatkan lebih dari satu
yurisdiksi hukum.
4.2 Jenis-jenis Cyber Crime
Kejahatan
yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan
jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk sesuai modus
operandi yang ada, antara lain:
4.2.1. Unauthorized
Access to Computer System and Service
Kejahatan
yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer
secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem
jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker)
melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan
rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa
tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki
tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya
teknologi Internet/intranet.
Kita
tentu belum lupa ketika masalah Timor Timur sedang hangat-hangatnya dibicarakan
di tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh
hacker (Kompas, 11/08/1999). Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil
menembus masuk ke dalam data base berisi data para pengguna jasa America Online
(AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang e-commerce yang
memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs
Federal Bureau of Investigation (FBI) juga tidak luput dari serangan para
hacker, yang mengakibatkan tidak berfugsinya situs ini beberapa waktu lamanya [20].
4.2.2. Illegal Contents
Merupakan
kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu hal
yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau
mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya, pemuatan suatu berita bohong
atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain,
hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang
merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan
yang sah dan sebagainya.
4.2.3. Data Forgery
Merupakan
kejahatan dengan memalsukan data pada dokumendokumen penting yang tersimpan
sebagai scripless document melalui Internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan
pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi "salah
ketik" yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku karena korban akan
memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja disalah gunakan.
4.2.4. Cyber Espionage
Merupakan
kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan matamata
terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network
system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis
yang dokumen ataupun data pentingnya (data base) tersimpan dalam suatu sistem
yang computerized (tersambung dalam jaringan komputer).
4.2.5. Cyber Sabotage
and Extortion
Kejahatan
ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap
suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung
dengan Internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu
logic bomb, virus computer ataupun suatu program tertentu, sehingga data,
program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak
berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh
pelaku.
4.2.6. Offense against
Intellectual Property
Kejahatan
ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain
di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada web page suatu situs milik
orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di Internet yang ternyata
merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.
4.2.7. Infringements of
Privacy
Kejahatan
ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada
formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila
diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun
immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit
tersembunyi dan sebagainya.
4.3 Pengaturan Tentang Cyber Crime Dalam Sistem
Hukum di Indonesia
Menjawab
tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang
diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap
perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negative
penyalahgunaan Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan
korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Saat ini, Indonesia belum
memiliki Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai cyber crime walaupun
rancangan undang undang tersebut sudah ada sejak tahun 2000 dan revisi terakhir
dari rancangan undang-undang tindak pidana di bidang teknologi informasi sejak
tahun 2004 sudah dikirimkan ke Sekretariat Negara RI oleh Departemen Komunikasi
dan Informasi serta dikirimkan ke DPR namun dikembalikan kembali ke Departemen
Komunikasi dan Informasi untuk diperbaiki.
Sebagai
langkah preventif terhadap segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana di
bidang komputer khususnya cyber, sedapat mungkin dikembalikan pada peraturan
perundang-undangan yang ada, yaitu KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan
peraturan di luar KUHP. Pengintegrasian dalam peraturan yang sudah ada berarti
melakukan suatu penghematan dan mencegah timbulnya over criminalization [21],
tanpa mengubah asas-asas yang berlaku dan tidak menimbulkan akibat-akibat
sampingan yang dapat mengganggu perkembangan teknologi informasi.
Ada
beberapa hukum positif yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku
cyber crime terutama untuk kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai
sarananya.
4.3.1 Kitab Undang
Undang Hukum Pidana
Dalam
upaya menangani kasus-kasus yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau
perumpamaan dan persamaaan terhadap Pasal-Pasal yang ada dalam KUHP. Pasal-Pasal
didalam KUHP biasanya digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan
beberapa perbuatan sekaligus Pasal-Pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada
cyber crime antara lain [22]:
a. Pasal
362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu
kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya
saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk
melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang
dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata
ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
b. Pasal
378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan
menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website
sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang
iklan. Tetapi, pada kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut
diketahui setelah uang dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang
sehingga pembeli tersebut menjadi tertipu.
c. Pasal
335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan
melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan
sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak
dilaksanakan akan membawa dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan
karena pelaku biasanya mengetahui rahasia korban.
d. Pasal
311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan
media Internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan e- mail kepada teman-teman
korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan e- mail ke suatu
mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.
e. Pasal
303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara
online di Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.
f. Pasal
282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang
banyak beredar dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia,
sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan
pendaftaran domain tersebut diluar negeri dimana pornografi yang menampilkan
orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.
g. Pasal
282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi
seseorang yang vulgar di internet, misalnya kasus Sukma Ayu-Bjah.
h. Pasal
378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan
penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu
kreditnya yang nomor kartu kreditnya merupakan curian.
i. Pasal
406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem
milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau
dapat digunakan sebagaimana mestinya.
4.3.2. Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Program
komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode,
skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat
dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan
fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan
dalam merancang intruksi-intruksi tersebut [23].
Hak
cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun [24].
Program komputer/software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia
merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna
menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah.
Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp
20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software
asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal
yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping. Maraknya pembajakan
software di Indonesia yang terkesan “dimaklumi” tentunya sangat merugikan
pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan
tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan
sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu
program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) “.
4.3.3. Undang-Undang Nomor
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Menurut
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 36 Tahun 1999: “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran,
pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda,
isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio,
atau sistem elektromagnetik lainnya”
Dari
definisi tersebut, maka Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya
merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan
menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem
elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau
pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang-Undang ini, terutama
bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana
diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa
hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a. Akses
ke jaringan telekomunikasi
b. Akses
ke jasa telekomunikasi
c. Akses
ke jaringan telekomunikasi khusus
Apabila
melakukan hal tersebut seperti yang pernah terjadi pada website KPU [25],
maka dapat dikenakan Pasal 50 yang berbunyi “Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah)”
4.3.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan
Dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang
Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm
dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai
tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau
ditransformasikan, misalnya Compact Disk - Read Only Memory (CD-ROM), dan Write
- Once - Read - Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut
sebagai alat bukti yang sah.
4.3.5. Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang
Pencucian
uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil
tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah
berasal dari kegiatan yang sah. Sesuai
dengan Pasal 2 Undang-undang No.15 Tahun 2002, tindak pidana yang
menjadi pemicu terjadinya pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan,
penyelundupan barang/tenaga kerja/imigran, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/
senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, terjadinya
pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang/tenaga
kerja/imigran, perbankan, narkotika,
psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/ senjata gelap, penculikan,
terorisme, pencurian, penggelapan, dan penipuan [26].
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius terhadap stabilitas sistem keuangan maupun
perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak
pidana multi-dimensi dan bersifat transnasional yang seringkali melibatkan
jumlah uang yang cukup besar.
Undang-Undang
ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai
dengan Pasal 38 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau
yang serupa dengan itu.
4.3.6. Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Selain
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti
elektronik sesuai dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti
elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat
ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor
intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk
menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku
mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit dibandingkan pelacakan
melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chat room
selain mencari informasi dengan menggunakan search engine serta melakukan
propaganda melalui bulletin board atau mailing list.
4.3.7. Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
UU
ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur
segala urusan dunia Internet (siber), termasuk didalamnya memberi punishment
terhadap pelaku cybercrime. Cybercrime dideteksi dari dua sudut pandang:
a. Kejahatan
yang Menggunakan Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas:
Pembajakan, Pornografi,
Pemalsuan/Pencurian Kartu Kredit, Penipuan Lewat Email (Fraud), Email Spam,
Perjudian Online, Pencurian Account Internet, Terorisme, Isu Sara, Situs Yang
Menyesatkan, dsb.
b. Kejahatan
yang Menjadikan Sistem Teknologi Informasi
Sebagai Sasaran: Pencurian Data Pribadi, Pembuatan/Penyebaran Virus
Komputer, Pembobolan/Pembajakan Situs, Cyberwar, Denial of Service (DOS),
Kejahatan Berhubungan Dengan Nama Domain, dsb. Cybercrime menjadi isu yang
menarik dan kadang menyulitkan karena:
1) Kegiatan
dunia cyber tidak dibatasi oleh teritorial Negara
2) Kegiatan
dunia cyber relatif tidak berwujud
3) Sulitnya
pembuktian karena data elektronik relatif mudah untuk diubah, disadap,
dipalsukan dan dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan detik
4) Pelanggaran
hak cipta dimungkinkan secara teknologi
5) Sudah
tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional. Analogi masalahnya
adalah mirip dengan kekagetan hukum konvensional dan aparat ketika awal mula
terjadi pencurian listrik. Barang buktiyang dicuripun tidak memungkinkan
dibawah ke ruang sidang. Demikian dengan apabila ada kejahatan dunia maya,
pencurian bandwidth, dsb
Secara
umum, dapat disimpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena
muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di
beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat.
Muatan UU ITE kalau dirangkumkan adalah sebagai berikut:
a. Tanda
tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan
konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework
Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
b. Alat
bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
c. UU
ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada
di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di
Indonesia
d. Pengaturan
Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
e. Perbuatan
yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yakni sebagai
berikut:
1) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
2) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
3) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
4) etiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
5) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
6) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
7) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang
ditujukan secara pribadi. Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa
pun.
8) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol
sistem pengamanan.
9) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu
Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun
yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. Kecuali
intersepsi intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hokum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
intersep diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah,
menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
Oranglain atau milik publik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang
tidak berhak.
11)
Terhadap perbuatan yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data
yang tidak sebagaimana mestinya.
12)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang
berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem
Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk
digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: perangkat keras
atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan
untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 33; ,Sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu
yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal
33. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika
ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik,
untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan
hukum.
13)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan,
perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
14)
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang
lain. Pasal 37 Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah
Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi
Indonesia.
4.4 Cyber Crime Sebagai Kejahatan Transnasional
Permasalahan
yang ditimbulkan akibat perkembangan teknologi komputer dan informasi,
menunjukkan perlu adanya upaya yang menyeluruh untuk menanggulangi cybercrime.
Kesadaran dari para pengguna jasa internet terhadap cyber ethics juga akan
turut membantu. Selain itu, kerjasama antara negara-negara pengguna jasa
internet juga membantu menanggulangi paling tidak mengurangi kejahatan internet
yang melintasi batas-batas negara.
Pada
dasarnya interaksi internet bersifat bebas (dengan adanya civil cyberliberty)
dan pribadi (privacy). Prinsip-prinsip dasar yang diakui umum dari aktivitas
elektronik melalui internet adalah transparansi, yaitu adanya keterbukaan dan
kejelasan dalam setiap interaksi internet, kehandalan dengan informasi yang
dapat dipercaya serta kebebasan dimana para pelaku bisnis, konsumen ataupun
pribadi dapat secara bebas mengakses atau berinteraksi tanpa adanya hambatan,
kesulitan ataupun tekanan dalam bentuk apapun. Namun demikian, kebebasan cyber
dalam aktivitas internet itu haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak
merugikan kepentingan umum atau konsumen, melanggar hak pribadi orang lain,
mengganggu keamanan nasional, mengancam integritas bangsa serta melanggar nilai
dan norma kesusilaan dan moralitas. Cyberliberty dalam internet dapat dipakai
sebagai media yang efektif untuk melancarkan ancaman internet (cyberthreat).
Cyberliberty juga memudahkan orang melakukan kejahatan yang merusak moralitas,
nilai dan norma seperti perjudian, prostitusi maupun pornografi.
Telah
banyak contoh bentuk kejahatan yang terjadi di dunia maya, seperti kasus-kasus
mafia cyber yang merebak pertengahan tahum 2004 di Amerika Serikat. Lalu di
Indonesia sendiri pernah mengalami, ketika sistem jaringan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) pada tahun 2004 disusupi oleh para hacker. Hal ini tentu saja
mencemaskan karena ketika dunia semakin tergantung kepada teknologi dan
manajemen berbasis pada informasi, ternyata kemajuan dalam penanggulangan
kejahatan berbasis teknologi ini dapat dikatakan berjalan perlahan.
Penanggulangan cybercrime oleh nagara-negara secara bersama sangatlah penting
dilakukan, terutama kerjasama internasional yang menyelenggarakan pengawasan
dan pengontrolan cybercrime. Sesungguhnya cybercrime sangat mengganggu terutama
bagi negara-negara maju yang kebanyakan sistem administrasinya menggunakan
sistem internet.
Pada
23 November 2001 di Budapest, Hongaria, 30 negara sepakat untuk menandatangani
Convention on Cybercrime, merupakan kerjasama multilateral yang diadakan guna
menanggulangi penyebaran aktivitas kriminal melalui internet dan jaringan
komputer lainnya. Melalui kerjasama ini diharapkan dapat menggugah masyarakat
internasional untuk ikut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan
berteknologi tinggi. Akan tetapi upaya penanggulangan cybercrime ini menemukan
masalah dalam perihal yurisdiksi. Pengertian yurisdiksi sendiri adalah
kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa
(hukum). Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan
negara, kesamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan. Yurisdiksi
juga merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat
mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum.
Dalam
kegiatan cyberspace, Darrel Menthe menyatakan yurisdiksi di cyberspace
membutuhkan prinsip-prinsip yang jelas yang berakar dari hukum internasional.
Hanya melalui prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional,
negara-negara dapat dihimbau untuk mengadopsi pemecahan yang sama terhadap
pertanyaan mengenai yurisdiksi internet. Pendapat Menthe ini dapat ditafsirkan
bahwa dengan diakuinya prinsip-prinsip yurisdiksi yang berlaku dalam hukum internasional
dalam kegiatan cyberspace oleh setiap negara, maka akan mudah bagi
negara-negara untuk mengadakan kerjasama dalam rangka harmonisasi
ketentuan-ketentuan pidana untuk menanggulangi cybercrime.
Pada
dasarnya, teknologi internet merupakan sesuatu yang bersifat netral, dalam
artian bahwa teknologi tersebut tidak bersifat baik ataupun jahat. Akan tetapi
dengan keluasan fungsi dan kecanggihan teknologi informasi yang terkandung di
dalamnya ditambah semakin merebaknya globalisasi dalam kehidupan mendorong para
pelaku kejahatan untuk menggunakan internet sebagai sarananya.
Cybercrime
pada saatnya akan menjadi bentuk kejahatan serius yang dapat membahayakan
keamanan individu, masyarakat dan negara serta tatanan kehidupan global.
Kegiatan-kegiatan kenegaraan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
masyarakat dan negara tidak selalu bisa dijamin aman dari ancaman penjahat
dalam dunia maya. Karena pelaku-pelaku cybercrime secara umum adalah
orang-orang yang memiliki keunggulan kemampuan keilmuan dan teknologi. Pada
sisi lain, kemampuan aparat untuk menanganinya sungguh jauh kualitasnya di
bawah para pelaku kejahatan tersebut.
Mengingat
bahwa cybercrime tidak mengenal batas-batas negara maka dalam upaya
penanggulangannya memerlukan suatu koordinasi dan kerjasama antarnegara.
Cybercrime memperlihatkan salah satu kondisi yang kompleks dan penting untuk
diadakannya suatu kerjasama internasional. Secara hukum hal tersebut telah
mengalami kemajuan sebab di Budapest, Hongaria, 30 negara telah sepakat untuk
menandatangani Convention on Cybercrime, yang merupakan kerjasama internasional
untuk penanggulangan penyebaran aktivitas kriminal melalui internet dan
jaringan komputer lainnya. Meski demikian efektivitas dan efisiensi
pelaksanaannya masih perlu dicari format yang tepat, karena seperti kasus-kasus
sebelumnya banyak konvensi internasional yang terbentur dalam pelaksanaannya.
Salah satu unsur yang akan menjadi tantangan dalam menerapkan suatu konvensi
adalah perbedaan persepsi terhadap masalah yang bermuara dari perbedaan
kepentingan dan pengalaman. Apalagi di dalam cybercrime ketiadaan batas dalam
menanggulanginya merupakan hal baru dalam sejarah penegakan hukum. Dengan kata
lain, masalah kejahatan di dunia maya tetap akan menyita waktu banyak pihak
untuk mendapatkan penyelesaian yang tepat dikarenakan dampak buruknya telah
menyebar secara luas ke berbagai lapisan.
Walaupun
nampaknya belum ada suatu bentuk kerjasama internasional yang benar-benar
efektif menghilangkan perilaku kejahatan dalam dunia maya, tetapi konfrensi di
Budapest telah menjadi landasan penting bagi adanya kerjasamakerjasama lanjutan
berkaitan dengan isu yang sama. Setidaknya, merebaknya fenomena praktik
kejahatan di dunia maya telah menyadarkan banyak pihak akan arti pentingnya
peningkatan kemampuan berkaitan dengan penguasaan teknologi komputer agar
pandangan bahwa pelaku kejahatan selangkah lebih maju dari kita bisa
ditumbangkan. Ketika masalah praktik kejahatan dalam dunia maya telah menjadi
isu politik, maka peluang ke arah kerjasama menjadi lebih terbuka dan memiliki
arti yang signifikan untuk diselesaikan.
Indonesia
telah melakukan berbagai tindakan preventif dan represif dalam penanggulangan
masalah pembajakan dan perompakan di laut, meskipun masih menemui berbagai
kendala. Dibidang pembenahan pengaturan hukumnya, telah pula disusun naskah
konsep KUHP tahun 2000, yang dimaksudkan untuk menggantikan pengaturan dalam
KUHP yang sekarang ini masih berlaku. Dalam kenyataannya naskah konsep KUHP
yang dimaksudkan untuk mengatur masalah pembajakan dan perompakan di laut,
belum menampung perkembangan-perkembangan pengaturan secara internasional
sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Cyber
Crime merupakan bentuk perkembangan kejahatan transnasional yang cukup
menghawatirkan saat ini. Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi
saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan
informasi itu sendiri. Dekatnya hubungan antara informasi dan teknologi
jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang amat luas yang biasa
disebut dengan teknologi cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi
yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer
yang disebut jaringan internet. Sebagai media penyedia informasi internet juga
merupakan sarana kegiatan komunitas komersial terbesar dan terpesat
pertumbuhannya.
Sementara
itu, menurut Ahmad M. Ramli, instrumen hukum internasional publik yang saat ini
mendapat perhatian adalah konvensi tentang kejahatan wasantara (convention on
Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada
awalnya dibuat oleh negara regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya
dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh negara manapun di dunia yang
memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan mayantara.
Negara-negara
yang tergantung dalam Uni Eropa pada tanggal 23 November 2001di Kota Budapest,
Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cyber Crime yang kemudian
di masukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185. Konvensi ini akan
berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 negara
termasukdiratifikasi oleh 3 negara anggota Council of Europe. Substansi
konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mencakup kebijakan kriminal yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui
undang-undang maupun kerjasama internasional.
Adapun
yang menjadi pertimbangan dari pembentukan konvensi ini antara lain sebagai
berikut :
1. Bahwa
masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar negara dan industri
dalam memerangi kejahatan mayantara dan adanya kebutuhan untuk melindungi
kepentingan yang sah di dalam suatu negara serta pengembangan teknologi
informasi.
2. Konvensi
saat ini diperlukan untuk meredam penyalahnaan sistem, jaringan dan data komputer
untuk melakukan perbuatan kriminal. Dengan demikian, perlu adanya kepastian
hukum dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan
domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dicapai,
dipercaya dan cepat.
3. Saat
ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian
antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dan konvenan PBB
1996 tentang hak politik dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasasn
berpendapat seperti hal berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari,
menerima, dan menyabarkan informasi dan pendapat.
Konvensi
ini telah disepakati oleh Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses
oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan
instrumen hukum internasional dalam mengatasi kejahatan may antara, tanpa
mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap mengembangkan kreativitasnya
dalam mengembangkan teknologi informasi.
Di
samping kedua instrumen tersebut, masih ada beberapa instrumen internasional
yang dapat dijadikan acuan dalam mengatur teknologi informasi. Resolusi Kongres
PBB VIII tahun 1990 tentang The Prevention of Crime and Treatment of Offenders
di Havana mengajukan bebrapa kebijakan dalam upaya menaggulangi cyber crime,
antara lain sebagai berikut :
1. Menghimbau
negara anggota untuk menginvestasikan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan
komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah di
antaranya :
2. Melakukan
modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana.
3. Mengembangkan
tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer.
4. Melakukan
langkah-langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat pengadilan dan
penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan
komputer.
5. Melakukan
upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim, pejabat dan para penegak
hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime.
6. Memperluas
rules of ethics dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum
informatika.
7. Mengadopsi
kebijakan perlindungan korban Cyber Crime sesuai dengan deklarasi PBB mengenai
korban, dan mengambil langkah-langkah untuk korban melaporkan adanya cyber
crime.
8. Menghimbau
negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya penanggualngan
Cyber Crime.
9. Merekomendasikan
kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan Kejahatan (Committe on Crime
Prevention and Control) PBB untuk :
a) Menyebarluaskan
pedoman dan standar untuk membantu negara anggota menghadapi Cyber Crime di
tingkat nasional, regional dan internasional.
b) Mengembangkan
penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi
problem Cyber Crime pada masa yang akan datang.
c) Mempertimbangkan
Cyber Crime sewaktu meninjau pengimplementasian perjanjian ekstradisi dan
bantuan kerja sama di bidang penanggulangan kejahatan.
Upaya
internasional dalam penanggulangan cyber crime, juga telah dibahas secara
khusus dalam suatu lokakarya yaitu workshop on crime related to computer
networks yang diorganisasi oleh UNAFEI selama Kongres PBB X tahun 2000
berlangsung. Adapun kesimpulan dari lokakarya ini adalah sebagai berikut :
1. Computer
Related Crime (CRC) harus dikriminalisasikan.
2. Diperlukan
hukum acara yang tepat untuk penyidikan dan penuntutan terhadap penjahat
mayantara (cyber criminals).
3. Harus
ada kerja antara pemerintah dan industri terhadap tujuan umum pencegahan dan
penaggulanagn kejahatan komputer agar internet menjadi aman.
4. Diperlukan
kerjasama internasional untuk menelusuri atau mencari para penjahat internet.
5. PBB
harus mengambil langkah atau tindak lanjut yang berhubungan dengan bantuan dan
kerja sama teknis dalam penaggulangan computer related crime (CRC).
Demikianlah
beberapa upaya hukum internasional yang terkait dengan upaya pencegahan dan
penanggulangan Cyber Crime. Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan
mayantara dilaksanakan oleh masyarakat internasional oleh karena kejahatan ini
adalah merupakan salah satu kejahatan baru yang beraspek internasional dan
global. Upaya hukum saat ini tidak hanya terbatas pada perangkat model law,
tetapi juga terkait dengan penegakan hukum.(law inforcement)
4.5 Permasalahan Yurisdiksi dalam Penyelesaian Kasus
Cybercrime
Kemajuan
teknologi informasi yang cepat selalu menimbulkan suatu permasalahan terutama
di bidang hukum pidana, sementara di satu sisi hokum seringkali tertinggal jauh
di banding dengan kemajuan teknologi. Komunitas (community) sosial yang ada dan
telah terbentuk serta berjalan dengan adanya perkembangan teknologi informasi
juga akan mengalami perubahan di berbagai aspek. Dengan menggunakan internet
muncul pula komunitas masyarakat yang berbeda dengan yang sudah ada selama ini,
komunitas masyarakat internet dapat pula disebut sebagai “cybercommunity”.
Untuk pembahasan mengenai cybercommunity , dapat dilihat artikel Juliet M. Oberding , yang
membahas cybercommunity untuk lebih memahami jurisdiksi di internet, sebagai
berikut : [27]
Can
the Internet be defined as a community ? A community has been defined as :
“…a
set of persons involved in stable patterns of communication. Communities vary
widely in the range of their interactions, the capacity of their networks, and
the links between information and material exchanges” (Mandelbaum,1982).
Communities
are also distinguished by lively interaction and engagement on issues of mutual
concerns and the well-being of communities contributes to the wellbeing of the
commonwealth (Schuler,1994). Such communities have their share of the ills of
society: jealously, gossip and anger (Rheingold, 1993). Communities also create
and enforce shared norms and values. Network communities can be caring groups
in which members share personal triumphs and tragedies.
Proffessor
Henry Perritt (1993) noted that :
“ An important part of the definition of a community
is the method through which it expresses obligation and enforces compliance.
Rights and responsibilities are defined by customs as well as by formal law.
Quaker meetings, corporations and municipalities have distinctly different
arrangements for making rules, determining instances of noncompliance and
imposing punishment.”
Memperhatikan
berbagai perkembangan yang terjadi , dapat dikatakan internet adalah suatu
sistem jaringan yang terdiri dari berbagai macam komunitas, sehingga peserta
atau anggota komunitas dapat membuat dan mendefinisikan hukum yang tepat untuk
komunitas mereka (we assert that the Internet is clearly a networked system of
many communities. Within individual cybercommunities, participants can create
and define law applicable to their community).
Komunitas
masyarakat internet yang tanpa batas (borderless) menimbulkan masalah dalam hal
jurisdiksi. Sebagaimana dikemukakan oleh Masaki Hamano :
The
term “cyber-jurisdiction “ is often used to refer to the system operators or
users power to establish rules and enforce them in a community set up in
cyberspace , or virtual space in the virtual world which is perceived as a
place on the Internet and is independet from government regulations.”
Masaki
Hamano menggunakan 3 jenis yurisdiksi tradisional, untuk menganalisa
permasalahan dalam cyber jurisdiction.
1) Yurisdiksi
legislatif (Jurisdiction to prescribe)
Yurisdiksi legislatif adalah wewenang
negara untuk membuat hukum sesuai dengan masyarakat dan keadaan yang ada .
Dalam keterkaitannya dengan internet, muncul pertanyaan ialah negara mana yang
berwenang terhadap kegiatan atau orang di dunia cyber?. Menimbulkan suatu
permasalahan yaitu “choice of law”.
2)
Yurisdiksi
untuk mengadili ( Jurisdiciton to adjudicate)
Yurisdiksi untuk mengadili didefinisikan
sebagai wewenang negara terhadap seseorang untuk melakukan proses pemeriksaan
pengadilan , dalam masalah kriminal. Pada yurisdiksi ini, masalah yang muncul
adalah “choice of forum”.
3)
Yurisdiksi
untuk melaksanakan (Jurisdiction to
enforce) Yurisdiksi untuk melaksanakan
berhubungan dengan wewenang suatu negara untuk melakukan penghukuman terhadap
terdakwa sesuai hukum yang berlaku, baik melalui pengadilan atau melalui
tindakan non-hukum lainnya (sanksi administratif).
Ketiga
macam jurisdiksi yang dikemukakan di atas, dapat diterapkan dalam bidang
penegakan hukum pidana sehingga menjadi sebagai berikut jurisdiksi legislatif
adalah kewenangan pembuatan hukum substantif atau dapat juga disebut jurisdiksi
formulatif; jurisdiksi judisial merupakan kewenangan mengadili atau menerapkan
hukum, dapat pula disebut sebagai jurisdiksi aplikatif atau jurisdiksi
judisial; jurisdiksi eksekutif adalah kewenangan melaksanakan kepatuhan hokum
yang dibuat, dapat pula disebut jurisdiksi eksekutif.[28]
Masaki
Hamano membedakan pengertian “cyberjurisdiction” dari sudutpandang dunia
cyber/virtual dan dari sudut hukum. Dari sudut dunia virtual,
“cyberjurisdiction” sering diartikan
sebagai “kekuasaan sistem operator dan para pengguna (users) untuk
menetapkan aturan dan melaksanakannya pada masyarakat di ruang cyber/virtual.
Dari sudut hukum, “cyberjurisdiction” atau “jurisdiction in cyber-space” adalah
kekuasaan fisik pemerintah dan kewenangan mengadili terhadap pengguna internet
atau terhadap aktivitas mereka di ruang cyber(physical government’s power and
court’s authority over Netusers or their activity in cyberspace). [29]
Darrel
Menthe dalam “Jurisdiction In Cyberspace: A Theory of International Spaces”
menyebutkan suatu wilayah teritorial yang menggunakan hukuminternasional dan
disebutnya “international space” ( ruang internasional); saat ini ada tiga
macam ruang internasional yaitu :
Antartica, angkasa luar, dan lautan luas.Dalam dunia cyber, jurisdiksi
mengesampingkan masalah konsep untuk pengadilan domestik dan pengadilan asing
yang serupa. Tidak seperti jurisdiksi tradisional yang melibatkan dua, atau
tiga jurisdiksi yang bertentangan satu
sama lain., maka hukumyang dapat diterapkan terhadap homepage adalah hukum
secara keseluruhan. [30]
Sama
seperti Masaki Hamano, Darrel Menthe juga membedakan tiga jenisjurisdiksi yang
diakui secara internasional, yaitu: jurisdiction to prescribe
(jurisdiksilegislatif/jurisdiksi formulatif), jurisdiction to adjudicate
(jurisdiksi aplikatif/ jurisdiksiyudikatif) , dan jurisdiction to enforce
(jurisdiksi eksekutif).
Tentang
masalah jurisdiksi di internet, Darrel Menthe mengemukakan suatu teori bahwa
selama berinteraksi di dunia cyber ada dua hal utama yaitu memberikan informasi
ke dalam dunia cyber dan mengambil informasi keluar dari dunia cyber.
Dalam
hal ini ada dua peran yang berbeda secara nyata yaitu the uploader yang memberi informasi ke dalam
dunia cyber dan the downloader sebagai pengambil informasi di kemudian hari;
dengan tidak memperhatikan identitas keduanya (baik the uploader maupun the
downloader). Teori yang dikemukakan oleh Darrel Menthe ini disebut sebagai The
Theory of the Uploader and the Downloader.
David
R. Johnson dan David G.Post dalam artikel berjudul “And How Should the Internet
Be Governed?” mengemukakan 4 model, yaitu : [31]
1. Pelaksanaan
kontrol dilakukan oleh badan-badan pengadilan yang saat ini ada (the existing
judicial forums)
2. Penguasa
Nasional melakukan kesepakatan internasional mengenai “the governance of
Cyberspace”.
3. Pembentukan suatu organisasi internasional baru (A New
International Organization) yang secara khusus menangani masalah-masalah di
dunia internet
4. Pemerintah/pengaturan
tersendiri (self-governance) oleh para pengguna internet.
Johnson
dan Post berpendapat bahwa penerapan prinsip-prinsip tradisional dari “Due
Process and personal jurisdiction” tidak sesuai dan mengacaukan apabila
diterapkan pada cyberspace. Menurut Johnson dan Post, cyberspace harus
diperlakukan sebagai suatu ruang yang terpisah dari dunia nyata dengan
menerapkan hukum yang berbeda untuk cyberspace (cyberspace should be treated as
a separate “space” from the “real world”
by applying distinct law to cyberspace). [32]
Menurut
Christopher Doran , pandangan Johnson dan Post mengenai tidak dapat
diterapkanya jurisdiksi personal terhadap para terdakwa internet, bukanlah
pandangan yang menonjol/ berpengaruh. Masaki Hamano juga menyatakan bahwa ide
Johnson dan Post tidak terwujud dalam kenyataan. Menurut Masaki Hamano,
sekalipun banyak kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan dunia cyber, namun
pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat telah menerima pendekatan tradisional
terjadap sengketa jurisdiksi cyberspace daripada membuat seperangkat peraturan
baru yang lengkap mengenai cyberlaw. [33]
Hal
yang senada juga dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa sistem hukum dan
jurisdiksi nasional/teritorial memang mempunyai keterbatasan karena tidaklah
mudah menjangkau pelaku tindak pidana di ruang cyber yang tidak berbatas. Namun
tidak berarti ruang cyber dibiarkan bebas tanpa hukum. Ruang cyber merupakan
bagian atau perluasan dari “lingkungan” (“environment”) dan “lingkungan hidup”
(“life environment”) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya; jadi
merupakan suatu “kepentingan hukum” yang harus dilindungi. Oleh karena itu,
jurisdiksi legislatif atau “jurisdiction to prescribe”, tetap dapat dan harus
difungsikan untuk menanggulangi “cybercrime” yang merupakan dimensi baru dari
”environmental crime”. [34]
Henry
Perrits berpendapat, bahwa masalah yurisdiksi berkaitan dengan kedaulatan
negara (sovereignity), dan didukung pula oleh Joel P. Trachtman dengan
penekanan pada masalah insititusi yang berkompeten. Latar belakang teori yang
diajukan oleh Tracthman karena munculnya institusi ekonomi dan hukum, dan
institusi ekonomi itu sendiri, yang kemudian hubungan antara keduanya adalah
sebagai batas teknik produksi dan batas produksi secara struktural. [35]
Menurut
Perrits, dunia mayantara (cyberspace) adalah sebagai wilayah kedaulatan yang
dilindungi (sovereignity-preserving), selanjutnya oleh Trachtman dikatakan sebagai kedaulatan untuk bertindak secara
khusus (sovereignitydemeaning), sehingga dunia mayantara (cyberspace) sekarang
ini menjadi perdebatan dalam kekuasaan suatu negara. Yurisdiksi yang sebenarnya
dalam dunia mayantara akan menimbulkan
lebih banyak keadaan dengan efek/dampak dirasakan oleh banyak wilayah
pada saat yang bersamaan.
Masalah
yurisdiksi yang timbul lebih banyak sebagai yurisdiksi horisontal, artinya
negara manakah yang berhak untuk memutuskan atau melaksanakan yurisidiksi di
dunia mayantara (cyberspace); hal ini muncul karena sulitnya untuk menetapkan
diwilayah mana dunia mayantara (cyberspace) dapat dikenai jurisdiksi.
Trachtman mengajukan dua pandangan tentang
masalah yurisdiksi, pertama bahwa masalah dunia mayantara tidak dapat
ditempatkan dalam satu wilayah teritorial negara manapun dengan asumsi bahwa wilayah territorial
sebagai dasar yurisdiksi; pandangan kedua didasarkan pada keadaan mendasar
tentang pemerintahan yang bersifat global (global government).
Pemerintahan
global dapat digambarkan dalam tiga parameter, yaitu : [36]
1. Peraturan
untuk menempatkan yurisdiksi di antara negara/pemerintahan;
2. Harmonisasi
peraturan;
3. Kemungkinan
diadakannya organisasi sentral yang
diikutsertakan dalam pembuatan peraturan dan kegiatan penegakan hukum.
Kedua
pandangan tersebut memiliki kelemahan, sebagaimana diungkapkan oleh Trachtman
sendiri. Bahwasanya, baik pada pandangan pertama dan kedua apabila dikaji lebih
dalam, jika terjadi kegagalan dapat menimbulkan anarki, bukan lagi pemerintahan
global.
Parameter
kedua yang diajukan oleh Trachtman, yaitu adanya harmonisasi peraturan , sama
dengan pendapat Masaki Hamano dan Barda Nawawi Arief, hal sama juga ditegaskan
dalam Convention on Cybercrime. Trachtman lebih menyetujui pendapat yang
dikemukakan oleh Henry Perrits, dengan melihat kemungkinan diadakannya
kerjasama antar negara untuk lebih memantapkan hukum dalam menentukan
jurisdiksi yang berwenang; serta kurang setuju dengan pendapat Johnson dan Post
yang menyebutkan bahwa semua wilayah cyberspace harus bebas dari batas
kewenangan hukum suatu negara.
Pendapat
Henry H.Perrit, Jr dalam “Jurisdiction and The Internet: Basic Anglo/American
Perspectives” mengemukakan beberapa hal [37].
Perrits menyarankan dilakukan adaptasi terhadap beberapa konsep tradisional
jurisdiksi yang mungkin tepat (appropriate).
Menghadapi
masalah jurisdiksi di dunia mayantara
ini serta mem-perhatikan ketentuan dalam Convention on Cybercrime, Barda Nawawi
Arief mengemukakan, digunakannya asas universal atau prinsip ubikuitas (the
principle of ubiquity) untuk menanggulangi masalah kejahatan cyber.
Prinsip
ubikuitas adalah prinsip yang menyatakan bahwa delik-delik yang dilakukan/
terjadi sebagian wilayah teritorial negara dan sebagian di luar territorial
suatu negara, harus dapat dibawa ke dalam jurisdiksi setiap negara yang
terkait. Prinsip ubikuitas ini pernah direkomendasikan dalam “International
Meeting of Experts on The Use of Criminal Sanction in The Protection of
Environment, Internationally, Domestic and Regionally di Portland, Oregon,
Amerika Serikat, tanggal 19-23 Maret 1994. [38]
Dalam pendapat beberapa sarjana sebagaimana telah disebut diatas, belum ada
yang menyebut tentang perlunya dikaji ulang untuk menggunakan prinsip
ubikuitas, apabila memang dipandang tepat.
Menghadapi
masalah yurisdiksi di internet , ada pendapat yang menggunakan pendekatan
“minimum contacts”, yang utamanya hal ini digunakan di Amerika Serikat. Penjelasannya
sebagai berikut : [39]
These
“minimum contacts” consist of physical presence, financial gain, stream of
commerce, and designation of the forum by contract. This means that even nonresidents
who are not physically present in the U.S. can be sued there as long as the
person or entity has minimum contacts with the forum. In era of computer
communication, simple action online may satisfy the minimum contacts analysis.
Ada
pula “effects test” sebagaimana dijelaskan oleh The American Law Institute’s
Restatement (Second) of Conflict of Law 37 (1971), sebagai berikut : [40]
“A
State has power to exercise judicial jurisdiction over an individual who causes
effects in the state by an act done elsewhere with respect to any cause of
action arising from these effects unless the nature of the effects of the
individual’s relationship to the state make the exersice of such jurisdiction
unreasonable”
Dua
pendekatan yang dikemukakan di atas, yaitu “minimum contacts” dan “effect
test”, pada umumnya digunakan untuk menyelesaikan masalah kejahatan cyber
dengan menggunakan sistem hukum di Amerika Serikat, yaitu Anglo Saxon serta
dianutnya “Long-arm statute” sebagai wujud kewenangan Pemerintah Federal untuk
menerapkan hukum pada negara bagian.
Masalah
penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan di internet, memang membutuhkan
analisa , pendekatan tersendiri, serta kemungkinan penggabungan beberapa teori
mengenai yurisdiksi dan hal ini karena kekhususan yang ada pada komunitas
internet itu sendiri, serta teknologi informasi yang mendukung keberadaannya.
Pada
prinsipnya, tiga jenis yurisdiksi yang selama ini sudah dikenal tetap digunakan
sebagai landasan untuk dikembangkan lebih jauh dan mendalam. Ketiga yurisdiksi
tersebut yaitu :
1. Yurisdiksi
legislatif yaitu kewenangan membuat hukum (jurisdiction to prescribe);
2. Yurisdiksi
judisial yaitu kewenangan untuk mengadili (jurisdiction to adjudicate);
3. Yurisdiksi
pelaksanaan yaitu kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan
(jurisdiction to enforce).
Baik
Masaki Hamano, Henry H.Perritt tetap mengajukan tiga jenis yurisdiksi tersebut
diatas untuk mendasari pemikiran dan pengembangan lebih lanjut dalam
menanggulangi kejahatan cyber.
Alasan
yang mendasari tetap digunakannya ketiga jenis yurisdiksi tersebut, karena : Dari
berbagai kasus kejahatan internet, apabila pelaku dapat ditangkap oleh polisi,
akan diterapkan hukum negara di mana si pelaku tertangkap. Artinya, digunakan
hukum dari negara di mana ia melakukan tindak pidana tersebut, atau negara
tempat ia melakukan penyebarluasan situs pornografi anak. Hal ini dapat dilihat
pada beberapa kasus tentang penangkapan pelaku tindak pidana pornografi anak di
internet, antara lain : [41]
Tanggal 22 April 2002, polisi di 9
negara di Eropa dan Amerika Serikat menangkap 25 orang sebagai tersangka pelaku
tindak pidana pornografi anak. Lima dari sembilan negara tersebut , yaitu:
Inggris, Swedia, Switzerland, Jerman dan Denmark, empat negara lain tidak
disebutkan. Hal ini berawal dari informasi kepolisian Swiss yang menemukan
seorang laki-laki dengan memakai kaos yang bertanda suatu perusahaan di
Denmark, tengah melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak perempuan.
Informasi ini diteruskan kepada kepolisian Denmark untuk dilakukan penyelidikan
lebih cermat. Penangkapan dilakukan oleh kepolisian Denmark terhadap sepasang
suami istridi Ringkoebing, 250 mil sebelah barat Denmark. Polisi menemukan
banyak foto anak perempuan , serta alamat dan daftar nama mereka yang juga melakukan
hal yang sama dengan pasangan tersebut.Pasangan ini dituntut oleh hukum Denmark
karena telah melakukan tindak kekerasan terhadap anak, dan ancaman pidana
selama 8 tahun, apabila memang hal itu terbukti.
· Tanggal 14 November 2001, polisi di 14
negara melakukan operasi besar-besaran dalam menghadapi pornografi anak. Di
Jerman, 93 peralatan disita dan 2.200 orang dalam pemeriksaan dengan tuduhan
memiliki dan menyebarluaskan pornografi anak, dalam penggerebekan ditemukan
pula jaringan komputer, video dan berbagai dokumentasi sebagai barang bukti.
Penggerebekan untuk hal yang senada dilakukan pula di Switzerland, Austria,
Netherlands, Norwegia, Perancis, Belgia, Denmark,Luxemburg, Portugal, Irlandia,
dan Amerika Serikat serta Canada.
· Tanggal 9 November 2001, ditangkapnya
seorang laki-laki oleh Polisi di East Rand, Afrika Selatan. Ia menyimpan banyak
foto, buku, video dan segala sesuatu sepanjang tentang pornografi anak, bahkan
juga film pornografi anak, yang kesemuanya disita oleh polisi untuk diperiksa
lebih lanjut dan sebagai barang bukti. Tersangka masih dalam pemeriksaan dan
akan diajukan ke pengadilan.
· Pengadilan distrik Jerman menjatuhi
pidana selama 2 tahun kepada seorang dokter di Berlin ,dengan tuduhan mendistribusikan
situs pornografi anak di internet, sebanyak 9.500 foto yang dilakukan antara
bulan April sampai dengan Juni 1997 . Dokter tersebut menyatakan bahwa hal
tersebut di lakukannya murni dengan tujuan sosiologi (sosiological reasons).
Berbagai
contoh kasus yang dikemukakan, menunjukkan bahwa dapat digunakannya 3 teori
jurisdiksi tradisional, sebagaimana kita kenal selama ini. Dari kasus di atas,
dapat dilihat hal-hal tertentu, sebagai berikut :
· Terhadap para pelaku tindak pidana
pornografi anak di internet, ditangkap dengan tuduhan yang hampir sama. Tuduhan
yang dikenakan, antara lain: kekerasan seksual terhadap anak (sexually abused
to children), memiliki dan penyebaran hal yang berbau pornografi anak.
· Kepada mereka dikenakan ancaman pidana
menurut negara tempat ia melakukan tindak pidana (locus delicti) dan waktu
(tempos delicti).
· Penangkapan, pemeriksaan, pengajuan
dan penjatuhan pidana kepada para pelaku menggunakan hukum negara tempat ia di
tangkap.
Berlakunya
jurisdiksi legislatif (jurisdiction to prescribe), nampak jelas dengan ada dan
berlakunya suatu undang-undang (Act) secara efektif. Negara di mana para pelaku
tindak pidana ditangkap, sudah memiliki perundang-undangan di bidang
Perlindungan Anak (Protection of Children Act 1978), Larangan untuk
mempublikasikan hal yang bersifat porno (Obscene Publications Act 1959 and
1964), Criminal Code, Criminal Justice Act.
Disusunnya
suatu kebijakan legislatif oleh suatu negara adalah merupakan bagian dari
kebijakan kriminal sebagai bagian dari kebijakan sosial. Kebijakan legislatif
dalam hal dilarangnya segala bentuk atau hal yang berhubungan dengan pornografi
anak, mulai dari memiliki, mendistribusikan, menyimpan, menjual, karena
didasarkan pada upaya perlindungan terhadap masyarakat .
Anak
adalah bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak (rights) untuk memperoleh
perlindungan secara sah dari negara . Disusunnya kebijakan legislatif dalam
bidang pornografi dan pornografi anak , yang kita lihat disusun pada tahun
1959, 1964 , 1978, menunjukkan pada luasnya cara pandang para penyusun
kebijakan legislatif dalam mengkriminalisasikan tindakan tersebut.
Disusunnya
undang-undang, selain menunjukkan cara pandang yang luas, juga bahwa hal
tersebut sebenarnya sudah ada sejak dahulu, namun dengan cara penyebarluasan
yang sederhana. Tidak memerlukan suatu jaringan (network), fiber optic atau
sarana telekomunikasi modern seperti saat ini. Kebijakan legislatif yang dibuat
ini benar-benar bersifat pencegahan umum (“general prevention”). Yurisdiksi
judisial ditunjukkan dengan diajukannya para tersangka ke depan pengadilan,
untuk diperiksa lebih lanjut sesuai dengan bukti-bukti yang diperoleh.
Hal
ini lebih mengarah pada hukum acara yang digunakan, meskipun demikian tetap
merupakan bagian dari yurisdiksi yudisial suatu negara, dan sebagai bagian dari
penegakan hukum. Yurisdiksi eksekutif sebagai alat untuk melaksanakan pidana
yang telah diberikan kepada terpidana. Para penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya sebaiknya didukung pula oleh sarana dan prasarana yang mendukung,
melebihi kemajuan teknologi informasi yang digunakan oleh pelaku kejahatan
cyber. Hal ini dapat dilihat dengan ditangkapnya para pelaku tindak pidana
pornografi anak di internet, juga dengan menggunakan teknologi informasi yang
sama atau bahkan lebih maju dari yang dimiliki para pelaku, selain juga
didukung partisipasi masyarakat .
Pada
uraian terdahulu telah disebut adanya “effect test” dan “minimum contact” yang
banyak digunakan di Amerika Serikat. Apabila dikaji secara mendalam, rumusan
pasal 25 RUU-PTI merupakan adaptasi dari “effect test”, yaitu dalam
kalimat:”…yang melakukan perbuatan hukum yang akibatnya dirasakan di
Indonesia”. Hal ini berarti bahwa efek dari perbuatan atau kejahatan cyber
tersebut dirasakan di Indonesia, sehingga Indonesia dapat menerapkan ketentuan
pidananya berdasar pasal 25 dan pasal 26 RUU - PTI.
Menurut
Soedarto, untuk menuntut seseorang di depan pengadilan perihal tindak pidana,
maka harus pasti tentang waktu dan tempat terjadinya tindak pidana. Ketentuan
tentang waktu diperlukan untuk menentukan apakah undang-undang yang
bersangkutan dapat diterapkan terhadap tindak pidana itu, sedang ketentuan
tentang tempat diperlukan untuk menetapkan apakah undang-undang pidana
Indonesia dapat diperlakukan dan juga pengadilan mana yang berkompeten untuk
mengadili orang yang melakukan tindak pidana tersebut (kompetensi relatif) [42] .
Untuk
menetapkan locus delicti, ada 3 teori yaitu :
a. Teori
perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah) : tempat tindak pidana ditentukan oleh
perbuatan jasmaniah yang dilakukan oleh pembuat dalam mewujudkan tindak pidana
itu. Untuk delik formil teori ini dapat digunakan dengan baik, akan tetapi
untuk delik materiil dan ada kalanya juga untuk delik formilpun teori ini sulit
diterapkan. Contoh kesulitan dalam delik formil ialah apabila ada orang di luar
Indonesia dengan perantaraan surat kabarr Indonesia melakukan penghinaan.
b. Teori
instrumen (alat) : tempat terjadinya delik ialah tempat bekerjanya alat yang
dipakai si pembuat. Alat ini bisa berupa benda atau orang, asalkan orang ini
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
c. Teori
akibat : ukuran untuk locus delicti adalah tempat terjadinya akibat di dalam
delik itu. Misalnya dalam penipuan, delik ini selesai apabila si korban
menyerahkan barangnya; si pembuat dapat saja bertempat di daerah kekuasaan
pengadilan lain.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
A. Terdapat
beragam pemahaman mengenai cybercrime. Namun bila dilihat dari asal katanya, cybercrime
terdiri dari dua kata, yakni “cyber” dan “crime”. Kata “cyber” merupakan
singkatan dari “cyberspace”, yang berasal dari kata “cybernetics” dan “space”
Istilah cyberspace muncul pertama kali pada tahun 1984 dalam novel William
Gibson yang berjudul Neuromancer.
B. Karakteristik kejahatan siber adalah: Perbuatan
anti sosial yang muncul sebagai dampak negatif dari pemanfaatan teknologi
informasi tanpa batas. Memanfaatkan rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada
tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi. Salah satu
rekayasa teknologi yang dimanfaatkan adalah internet. Perbuatan tersebut
merugikan dan menmbulkan ketidaktenangan di masyarakat, serta bertentangan
dengan moral masyarakat Perbuatan tersebut dapat terjadi lintas negara.
Sehingga melibatkan lebih dari satu yurisdiksi hukum.
C. Masaki
Hamano menggunakan 3 jenis yurisdiksi tradisional, untuk menganalisa
permasalahan dalam cyber jurisdiction.
1) Yurisdiksi
legislatif (Jurisdiction to prescribe)
Yurisdiksi legislatif adalah wewenang
negara untuk membuat hukum sesuai dengan masyarakat dan keadaan yang ada .
Dalam keterkaitannya dengan internet, muncul pertanyaan ialah negara mana yang
berwenang terhadap kegiatan atau orang di dunia cyber?. Menimbulkan suatu
permasalahan yaitu “choice of law”.
2)
Yurisdiksi
untuk mengadili ( Jurisdiciton to adjudicate)
Yurisdiksi untuk mengadili didefinisikan
sebagai wewenang negara terhadap seseorang untuk melakukan proses pemeriksaan
pengadilan , dalam masalah kriminal. Pada yurisdiksi ini, masalah yang muncul
adalah “choice of forum”.
3)
Yurisdiksi
untuk melaksanakan (Jurisdiction to
enforce)
Yurisdiksi untuk melaksanakan
berhubungan dengan wewenang suatu negara untuk melakukan penghukuman terhadap
terdakwa sesuai hukum yang berlaku, baik melalui pengadilan atau melalui
tindakan non-hukum lainnya (sanksi administratif).
5.2 Saran
Dari
berbagai upaya yang dilakukan, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global
action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat
transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara
dalam penanggulangan cybercrime adalah:
Melakukan
modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan
dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
Meningkatkan
sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
Meningkatkan
pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan,
investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
Meningkatkan
kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah
kejahatan tersebut terjadi
Meningkatkan
kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam
upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan
mutual assistance treaties.
[1] Petrus Reinhard Golose,
Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanganannya di Indonesia Oleh Polri,
Makalah pada Seminar Nasional tentang “Penanganan Masalah Cybercrime di
Indonesia dan PengembanganKebijakan Nasional yang Menyeluruh Terpadu”,
diselenggarakan oleh Deplu,BI, dan DEPKOMINFO, Jakarta, 10Agustus 2006, hal 5.
[2] Tubagus
Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat: Sebuah Pendekatan
Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban, Jakarta,2001,hal.38.
[3] Abdul Wahid dan Mohammad Labib,
Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2005), hal..
40.
[4] Peter Stephenson,
Investigating ComputerRelated Crime: A Hanbook For Corporate
Investigators, (London New York
Washington D.C: CRC Press, 2000), hal. 56.
[5] Indra Safitri, “Tindak Pidana di Dunia
Cyber” dalam Insider, Legal Journal From Indonesian Capital & Investmen
Market. Dapat dijumpai di Internet:
http://business.fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindakpidana.htm. Diakses
pada tanggal 9 Mei 2012 Pukul 19.08 WITA.
[6] Mirza
Satria Buana, Hukum Internasional Teori
dan Praktek, (Bandung : Penerbit Nusamedia, 2007), hal.56
[10] Anthony
Csabafi, The Concept of State
Jurisdiction in International Space Law, (The Hague, 1971), hal.45.
[11] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.1278.
[13] http://yogapw.wordpress.com/2012/04/08/pengertian-internet-interconnected-network/
diakses pada tanggal 9 Mei 2012 Pukul 19.27 WITA
[14] Memang istilah ini pertama kali dipakai oleh William
Gibson, tetapi dalam konteks internet, John Perry Barlow mengklaim sebagai
penguna pertama. Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam percakapan antara
John Perry Barlow dan Jeff Zaleski, Armehdi Mahzar dalam kata pengantar buku
Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace, Bagaimana Teknologi Komputer
Mempengaruhi Kehidupan Keberagaman Manusia, Mizan Bandung, 1999, hal. 53.
[15] Bruce
Sterling, The Hacker Crackdown, Law and Disorder on the Electronic Frontier,
Massmarket Paperback, 1990, electronic version available at
http://www.lysator.liu.se/etexts/hacker/
[16] Abdul
Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Jakarta: PT.
Refika Aditama, 2005), hal.. 40.
[17] Peter
Stephenson, Investigating ComputerRelated Crime: A Hanbook For Corporate
Investigators, (London New York
Washington D.C: CRC Press, 2000), hal. 56.
[18] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan
Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2007), hal.24
[19] Indra Safitri, “Tindak Pidana di Dunia
Cyber” dalam Insider, Legal Journal From Indonesian Capital & Investmen
Market. Dapat dijumpai di Internet: http://business.fortunecity.
com/buffett/842/art180199_tindakpidana.htm. Diakses pada tanggal 9 Mei 2012
Pukul 20.27 WITA.
[21] Marjono
Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 13
[22] Bulletin
Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Perkembangan Cyber crime dan Upaya
Penanggulangannya di Indonesia oleh POLRI, Volume 4 No. 2, Agustus 2006
[26] Pasal
2 ayat (1) huruf q Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
[27] Juliet
M. Oberding, A Separate Jurisdiction For Cyberspace?, tersedia pada
http://www.oberding.com/-juliet/resources.html
[28] Barda
Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum, Materi Kuliah Program Pasca
Sarjana Ilmu Hukum UNDIP 2001,halaman 259
[30] Darrel
Menthe, Jurisdiction In Cyberspace : A Theory of International Spaces, tersedia
pada http://www.mttlr.org/vlogfour/menthe.html
[35] Joel
P.Trachtman, Cyberspace, Soverignity, Jurisdiction and Modernism, tersedia pada
Indiana Journal of Law, atau pada “cyberjurisdiction
[37] Henry H.Perrit, Jr, Jurisdiction and the
Internet : Basic Anglo/America Perspective, tersedia pada
http://www.kentlaw.edu/cyberlaw/
[39] John
W.Yeargain & Zhu Jing, Jurisdiction in Cyberspace : Whose Law Controls?,
tersedia pada “jurisdiction in Cyberspace”, Southeastern Lousiana University
[41] International
Developments Section of Regulation of Child Pornography on the Internet,
compiled by Yaman Akdeniz,
http://www.cyber-rights.org/reports/child.htm.
0 komentar:
Posting Komentar