1.
Pengertian
Prostitusi
Pelacuran
atau prostitusi menurut asal katanya, yaitu bahasa Latin, Pro-stituare atau Pro-Stauree, yang artinya membiarkan
diri berbuat zinah, melakukan persundalan, pencabulan, pergendakan. Sedangkan Prositue adalah pelacur atau sundal
dikenal juga sebagai WTS (Wanita Tuna Susila). Prostitusi adalah bentuk
penyimpangan sosial, dengan pola organisasi implus/dorongan seks yang tidak
wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk dalam bentuk pelampiasan nafsu seks
tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), inpersonal tanpa apeksi
sifatnya sedangkan pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (pensundalan
dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak
orang untuk memuaskan nafsu seks dengan imbalan pembayaran.[1])
Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia Prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual
dengan uang atau hadiah-hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan, pelacuran.[2] Apabila mengaitkan dengan
keberadaan tempat hiburan karaoke di Bandung yang menyediakan jasa Pemandu Lagu
yang diduga adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 281 dan 296 KUHP serta
PERDA K3 Kota Bandung Nomor 11
Tahun 2005, maka tempat ini merupakan media baru bagi para pelaku seks
terselubung dan tempat pelacuran, dan tanpa disadari ini semakin berkembang
dari daya minat pelakunya, dan lama kelamaan dapat merusak moral generasi muda.
2.
Sudut
Pandang Terhadap Prostitusi
Pada masa lalu,
prostitusi mempunyai hubungan dengan penyembahan dewa-dewa dan upacara-upacara
keagamaan tertentu. Di babilonia praktek prostitusi dipaksakan kepada banyak
wanita untuk menghormati Dewi Mylitta. Di india, upacara keagamaan yang
dikaitkan dengan praktek praktek prostitusi, sampai sekarangpun masih ada.[3])
Norma agama pada
umumnya juga melarang prostitusi. Dalam hukum Islam, Surat Al-Isra ayat 32
dikatakan : “Dan janganlah kamu sekali sekali melakukan perzinahan,
sesungguhnya perzinahan itu merupakan suatu perbuatan yang keji, tidak sopan
dan jalan
yang buruk”. Sebab perzinahan yaitu persetubuhan antara laki-laki dan perempuan
diluar perkawinan itu melanggar kesopaan,
merusak keturunan, menyebabkan penyakit kotor, menimbulkan persengketaan,
ketidak rukunan dalam keluarga dan malapetaka lainnya.[4])
Masalah prostitusi
dan seks bebas merupakan salah satu ekspresi sosialitas dapat dilakukan dengan
atau tanpa cinta, dan sebaliknya cintapun tidak harus diekspresikan melalui
hubungan seks belaka. Ada banyak cara lain mengekspresikan cinta sebagaimana
ada banyak motivasi kenapa seseorang menyetubuhi seseorang. Hanya saja, sebuah
hubungan seks yang dibarengi cinta barangkali adalah idealitas dari konsep
keluruhan martabat manusia dalam perilaku seksualnya, dalam sosialisasi
kelaminya. Dalam hubungan seks yang tidak melibatkan cinta, seks mungkin
cenderung sangat naluriah dan kurang melibatkan kompleksitas perasaan para
pelakunya meski untuk soal kenikmatan, mungkin saja tidak ada bedanya antara
hubungan seks yang disertai cinta dengan yang tidak. Tapi korelasi keduanya
dalam sosialitas kelamin memang sangat mungkin juga menimbulkan hubungan
kausalitas. Interaksi kelmin adalah bentuk komunikasi universal yang mampu
menjembatani segala kendala bahasa dalam hubungan antar manusia.[5])
Pada dasarnya semua
ajaran agama melarang pelacuran dalam bentuk apapun, bagaimanapun bentuknya.
Para pelacur dikecam dan dikutuk masyarakat. Karena tingkah lakunya nya yang
dianggap melanggar nilai nilai moral.
3. Fenomena
Sosial Penyebab Terjadinya Prostitusi Terselubung
Walaupun
di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang
praktik prostitusi, ada beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah
yang menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau lebih
populer disebut seks komersial. Pemerintah daerah memiliki peraturan daerah
yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual
atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah
tempat yang bersifat pribadi atau dapat
dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Definisi
ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi
ini seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi
manusia, sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang
dianggap “menyenangkan” bagi badan mereka. Meski demikian, sebagai bangsa yang
“bermoral” dan “beragama”, perlulah kita memiliki upaya mengatasi masalah
prostitusi.
Langkah
pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah pandangan orang tentang
kegiatan seksual dengan cara menggeser paradigma prostitusi sebagai “perbuatan
asosial” kepada kesenangan seksual (sexual
pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu seks komersialnya karena berkaitan
dengan kesenangan seksual.
Fakta
lain adalah produk yang berhubungan dengan seks dapat ditemukan di mana saja
dan bahwa sebagian besar orang dapat melihat produk tersebut. Jika hukum
memandang aktivitas ini, yang melibatkan banyak orang, sebagai ilegal, berarti
hukum ketinggalan zaman dan harus diubah dan diperbarui. Indonesia sangat
mungkin melakukan penataan terhadap prostitusi.
Pemerintah
dapat memberikan lisensi bisnis kepada prostitusi dan menjamin mereka yang
menjajakan seks untuk memperoleh pemeriksaan kesehatan fisik dan nonfisik
sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Belanda. Kewajiban pemerintah adalah
memberikan pelayanan kesehatan dan sosial kepada penjaja seks agar mereka
terhindar dari konsekuensi keterlibatan mereka dalam kegiatan seks komersial.
Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia merupakan
bukti bahwa paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak diakui keberadaannya
oleh masyarakat. Langkah kedua yang penting dipertimbangkan untuk dilakukan pemerintah
adalah liberalisasi seks komersial tersebut.[6])
Berlangsungnya
perubahan sosial yang sangat cepat dan perkembangan yang sama dalam kebudayaan,
mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri,
mengakibatkan timbulnya disharmonisasi, konflik eksternal dan interna, juga
disorganisasi dalam masyarakat dan diri
pribadi. Fenomena tersebut memudahkan individu menggunakan pola reaksi yang
menyimpang dari pola umum yang berlaku. Dalam hal ini ada pola prostitusi untuk
mempertahankan hidup di tengah hiruk pikuk pembangunan.[7])
Beberapa
fenomena sosial penyebab prostitusi antara lain adalah:[8])
a. Tidak adanya undang
undang yang melarang prostitusi, juga tidak ada larangan terhadap orang yang
melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau diluar pernikahan. Yang dilarang
dan diancam dengan hukuman adalah praktek germo (Pasal 296 KUHP) dan mucikari
(Pasal 503 KUHP).
b. Adanya keinginan dan
dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya diluar ikatan
perkawinan.
c.
Komersialiasi
dari seks, baik dari pihak wanita maupun para germo dan oknum-oknum tertentu
yang memanfaatkan pelayanan seks. Jadi, seks dijadikan alat yang jamak guna (multipurpose) untuk tujuan-tujuan
komersial diluar perkawinan.
d. Dekadensi moral,
merosotnya norma norma susila dan keagamaan pada saat-saat orang mengenyam
kesejahteraan hidup.
e. Semakin besarnya
penghinaan orang terhadap kaum wanita
dan harkat manusia
f.
Ekonomi Iessez-faire menyebabkan timbulnya
system “jual dan permintaan” yang diterapkan pula pada relasi seks.
4. Motif Motif Yang Melatarbelakangi
Prostitusi
Ada banyak motif yang
melatarbelakangi timbulnya prostitusi,
termasuk tempat karaoke penyedia jasa pemandu lagu yang diduga adanya prostitusi terselubung di
Bandung. Diantaranya:[9])
a. Adanya kecenderungan
untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan
melalui “jalan pintas”. Kurang perhatian, kurang pendidikan, sehingga
menghalalkan prostitusi.
b. Ada nafsu seks yang abnormal.
c. Tekanan ekonomi,
faktor kemiskinan, ada pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan hidupya,
khususnya mendapatkan status sosial yang lebig baik.
d. Aspirasi materil yang
tinggi dan kesenangan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah, dan
ingin hidup mewah.
e. Konpensasi terhadap
perasaan-perasaan interior, jadi ada adjustment
yang negative, terutama terjadi pad mas puberadn adolesens.
f.
Gadis-gadis
dari daerah perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan yang
immori.
g. Oleh bujuk rayu para
kaum laki-laki dan para calo yang menjanjikan dengan gaji yang tinggi.
h. Disorganisasi dari
kehidupan keluargam broken home.
i.
Adanya
ambisi ambisi untuk mendapatkan status sosial.
0 komentar:
Posting Komentar