BAB
I
PENDAHULUAN
& LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Semakin berkembangnya
perekonomian dunia dewasa ini serta arus globalisasi yang sangat pesat
mendorong semua Negara yang ada di dunia mulai Negara berkembang hingga Negara
maju untuk bersaing dalam hal bidang perdagangan antar Negara.tingginya
pendapatan Negara dari hasil eksport-import mendorong Negara-negara untuk
terus memacu produksi barang-barang yang akan dijadikan objek eksport ke
Negara-negara lain
Kegiatan eksport –
import ini dipengaruhi karena adanya fenomena globalisasi ekonomi Tidak ada
definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi,
tetapi secara sederhana globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu
proses dimana semakin banyak negara yang terlibatdalam kegiatan ekonomi dunia.
Jadi, jika pada periode sejak perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an
ekonomi dunia didominasi oleh ekonomi Amerika Serikat (AS), sekarang ini
walaupun produk domestik bruto (PDB) AS masih besar yakni sekitar 45% dari PDB
dunia, peran dari ekonomi Uni Eropa, Jepang dan negara-negara yang tergolong
dalam newly industrialized countries (NICs), seperti Korea Selatan,
Taiwan, Singapura, dan Cina jauh lebih kuat
sebagai motor penggerak perekonomian dunia. Semakin mengglobalnya suatu negara
di dalam perekonomian dunia dapat dilihat, misalnya dari
peningkatan perdagangan internasionalnya (ekspor dan impor) yang
tercerminkan antara lain pada peningkatan pangsa ekspornya di pasar global dan
peningkatan rasio impor terhadap PDB-nya; semakin aktif terlibat dalam proses
produksi yang melibatkan banyak negara (misalnya dalam membuat pesawat Boeing
lebih dari 50 negara terlibat yang masing-masing membuat bagian-bagian tertentu
dari pesawat tersebut, atau dalam membuat pesawat Airbus, sejumlah negara Eropa
terlibat dalam proses pembuatannya), dan semakin besar arus investasi asing
yang masuk ke negara tersebut atau semakin besarnya investasi dari negara
tersebut ke negara-negara lain.
Semakin menipisnya
batas-batas kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional disebabkan oleh
banyak hal, diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan
transportasi yang semakin canggih dan murah, lalu lintas devisa yang semakin
bebas, ekonomi negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan
perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin efisien, dan semakin
pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain
itu, penyebab-penyebab lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose
akibat kemajuan teknologi (yang mengurangi pemakaian sumber daya alam), semakin
tingginya pendapatan rata-rata per kapita,
semakin majunya tingkat pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan
teknologi di semua bidang, dan semakin banyaknya jumlah penduduk dunia
BAB II
PERMASALAHAN
a.
KONDISI EKSPOR INDONESIA
Pengutamaan Ekspor
bagi Indonesia sudah digalakkan sejak tahun 1983.Sejak saat itu,ekspor menjadi
perhatian dalam memacu pertumbuhan ekonomi seiring dengan berubahnya strategi
industrialisasi-dari penekanan pada industri substitusi impor ke industri
promosi ekspor.Konsumen dalam negeri membeli barang impor atau konsumen luar
negeri membeli barang domestik,menjadi sesuatu yang sangat lazim.Persaingan
sangat tajam antarberbagai produk.Selain harga,kualitas atau mutu barang
menjadi faktor penentu daya saing suatu produk.
Secara kumulatif,
nilai ekspor Indonesia Januari-Oktober 2008 mencapai USD118,43 miliar atau
meningkat 26,92 persen dibanding periode yang sama tahun 2007, sementara ekspor
nonmigas mencapai USD92,26 miliar atau meningkat 21,63 persen. Sementara itu
menurut sektor, ekspor hasil pertanian, industri, serta hasil tambang dan
lainnya pada periode tersebut meningkat masing-masing 34,65 persen, 21,04
persen, dan 21,57 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Adapun selama periode
ini pula, ekspor dari 10 golongan barang memberikan kontribusi 58,8 persen
terhadap total ekspor nonmigas. Kesepuluh golongan tersebut adalah, lemak dan
minyak hewan nabati, bahan bakar mineral, mesin atau peralatan listrik, karet
dan barang dari karet, mesin-mesin atau pesawat mekanik. Kemudian ada pula
bijih, kerak, dan abu logam, kertas atau karton, pakaian jadi bukan rajutan,
kayu dan barang dari kayu, serta timah.
Selama periode
Januari-Oktober 2008, ekspor dari 10 golongan barang tersebut memberikan
kontribusi sebesar 58,80 persen terhadap total ekspor nonmigas. Dari sisi
pertumbuhan, ekspor 10 golongan barang tersebut meningkat 27,71 persen terhadap
periode yang sama tahun 2007. Sementara itu, peranan ekspor nonmigas di luar 10
golongan barang pada Januari-Oktober 2008 .Jepang pun masih merupakan negara
tujuan ekspor terbesar dengan , diikuti Amerika Serikat dengan nilai , dan
Singapura dengan nilai.Peranan dan perkembangan ekspor nonmigas Indonesia
menurut sektor untuk periode Januari-Oktober tahun 2008 dibanding tahun 2007
dapat dilihat pada. Ekspor produk pertanian, produk industri serta produk
pertambangan dan lainnya.
Dilihat dari
kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan Januari-Oktober 2008, kontribusi
ekspor produk industri adalah sebesar 64,13 persen, sedangkan kontribusi ekspor
produk pertanian adalah sebesar 3,31 persen, dan kontribusi ekspor produk
pertambangan adalah sebesar 10,46 persen, sementara kontribusi ekspor migas
adalah sebesar 22,10 persen.Kendati secara keseluruhan kondisi ekspor Indonesia
membaik dan meningkat, tak dipungkiri semenjak terjadinya krisis finansial
global, kondisi ekspor Indonesia semakin menurun. Sebut saja saat ekspor per
September yang sempat mengalami penurunan 2,15 persen atau menjadi USD12,23
miliar bila dibandingkan dengan Agustus 2008. Namun, secara year on year
mengalami kenaikan sebesar 28,53 persen.
b.
KONDISI IMPOR INDONESIA
Keadaan impor di
Indonesia tak selamanya dinilai bagus, sebab menurut golongan penggunaan
barang, peranan impor untuk barang konsumsi dan bahan baku/penolong selama Oktober
2008 mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya yaitu masing-masing dari
6,77 persen dan 75,65 persen menjadi 5,99 persen dan 74,89 persen. Sedangkan
peranan impor barang modal meningkat dari 17,58 persen menjadi 19,12 persen.
Sedangkan dilihat
dari peranannya terhadap total impor nonmigas Indonesia selama Januari-Oktober
2008, mesin per pesawat mekanik memberikan peranan terbesar yaitu 17,99 persen,
diikuti mesin dan peralatan listrik sebesar 15,15 persen, besi dan baja sebesar
8,80 persen, kendaraan dan bagiannya sebesar 5,98 persen, bahan kimia organik
sebesar 5,54 persen, plastik dan barang dari plastik sebesar 4,16 persen, dan
barang dari besi dan baja sebesar 3,27 persen.
Selain itu, tiga
golongan barang berikut diimpor dengan peranan di bawah tiga persen yaitu pupuk
sebesar 2,43 persen, serealia sebesar 2,39 persen, dan kapas sebesar 1,98
persen. Peranan impor sepuluh golongan barang utama mencapai 67,70 persen dari
total impor nonmigas dan 50,76 persen dari total impor keseluruhan.
Data terakhir
menunjukkan bahwa selama Oktober 2008 nilai impor nonmigas Kawasan Berikat
(KB/kawasan bebas bea) adalah sebesar USD1,78 miliar. Angka tersebut mengalami
defisit sebesar USD9,3 juta atau 0,52 persen dibanding September 2008.
Sementara itu, dari
total nilai impor nonmigas Indonesia selama periode tersebut sebesar USD64,62
miliar atau 76,85 persen berasal dari 12 negara utama, yaitu China sebesar
USD12,86 miliar atau 15,30 persen, diikuti Jepang sebesar USD12,13 miliar
(14,43 persen). Berikutnya Singapura berperan 11,29 persen, Amerika Serikat
(7,93 persen), Thailand (6,51 persen), Korea Selatan (4,97 persen), Malaysia
(4,05 persen), Australia (4,03 persen), Jerman (3,19 persen), Taiwan (2,83
persen), Prancis (1,22 persen), dan Inggris (1,10 persen). Sedangkan impor
Indonesia dari ASEAN mencapai 23,22 persen dan dari Uni Eropa 10,37 persen “[1]
BAB III
PEMBAHASAN
a.
DEFINISI
EKSPORT – IMPORT
·
EKSPORT
Ekspor
adalah proses transportasi barang atau
komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses
perdagangan. Proses ekspor pada umumnya adalah tindakan untuk mengeluarkan
barang atau komoditas dari dalam negeri untuk memasukannya ke negara lain.
Ekspor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di
negara pengirim maupun penerima. Ekspor adalah bagian penting dari perdagangan
internasional, lawannya adalah impor(Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas)”[2]
·
IMPORT
Impor
adalah proses transportasi barang atau
komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses
perdagangan. Proses impor umumnya adalah tindakan memasukan barang atau
komoditas dari negara lain ke dalam negeri. Impor barang secara besar umumnya
membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima.
Impor adalah bagian penting dari perdagangan internasional, lawannya adalah
ekspor(Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)”[3]
b.
EKSPOR
DAN IMPORT SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK EKONOMI GLOBAL
Dampak nyata dari globalisasi terhadap perekonomian
Indonesia adalah terutama pada dua area yang saling mempengaruhi satu sama
lainnya, yakni produksi dalam negeri dan perdagangan luar negeri. Globalisasi yang
didorong oleh era perdagangan bebas dan liberalisasi pasar finansial dunia bisa
berpengaruh negatif atau positif terhadap produksi dalam negeri. Pengaruh
negatif bisa disebabkan oleh barang impor yang semakin menguasai pasar domestik
sehingga mematikan produksi dalam negeri atau menurunkan ekspor Indonesia
karena daya saingnya rendah. Turunnya ekspor bisa berdampak negatif
terhadap produksi dalam negeri jika sebagian besar dari barang-barang yang
dibuat di dalam negeri untuk tujuan ekspor, atau karena kurangnya dana untuk
membiayai proses produksi yang disebabkan oleh berkurangnya devisa dari hasil
ekspor. Sebaliknya, jika Indonesia mempunyai daya saing yang baik, maka
liberalisasi perdagangan dunia membuka peluang yang besar bagi ekspor
Indonesia, yang berarti ekspor meningkat dan selanjutnya mendorong pertumbuhan
dan memperluas diversifikasi produksi di dalam negeri.
Sudah cukup banyak studi yang melakukan simulasi-simulasi
mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap negara-negara yang terlibat,
misalnya terhadap perubahan output dan ekspor. Diantaranya dari UNCTAD (1999)
yang hasil simulasinya terhadap sejumlah negara-negara Asia termasuk Indonesia
sebagai sampel penelitian, menunjukan bahwa perdagangan terhadap pertumbuhan
ekspor Indonesia adalah yang paling kecil setelah Turkey (Tabel 1). Walaupun,
studi ini tidak terlalu spesifik mengenai dampak terhadap ekspor secara
sektoral, hasilnya memberikan suatu indikasi bahwa Indonesia mempunyai banyak
masalah, baik dari sisi suplai (seperti keterbatasan kapasitas produksi dan
infrastruktur) maupun sisi permintaan (seperti kualitas) dibandingkan
negara-negara lain sehingga Indonesia tidak (belum) bisa mengoptimalisasikan
keuntungan dari liberalisasi perdagangan dunia (WTO) atau regional (AFTA atau
APEC). “[4]
c.
LEMBAGA
INTERNASIONAL SEBAGAI PENJAMIN KEADILAN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ANTAR
NEGARA
Konferensi Dunia tentang Moneter dan
Keuangan Internasional pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, Hampshire USA,
membentuk dua lembaga yang mengatur sistem moneter internasional yaitu
International Monetary and Financial (IMF) dan World Bank. Sistem
moneter international merupakan suatu sistem yang diselenggarakan melalui dua
lembaga keuangan internasional tersebut dengan tujuan untuk mengatur lalu
lintas keuangan yang digunakan untuk mengembangkan perdagangan internasional.
Sistem moneter internasional adalah satu perangkat
kebijakan, institusi, praktisi, regulasi, mekanisme, yang menentukan tingkat
dimana mata uang satu ditukarkan dengan mata uang lain. Ide globalisasi membuat
banyak orang berpikir bahwa pembangunan, distribusi kekayaan dunia dan keadilan
akan terwujud. Pasalnya, globalisasi ini didukung dengan keberadaan sejumlah
instansi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia,
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Di pihak lain, para pakar menilai
pelaksanaan kebijakan ekonomi dalam skala global malah akan dihadapkan pada
kendala serius, khususnya bagi negara-negara yang sedang berkembang.
Keterpurukan sistem produksi, perbankan, pendidikan dan kesehatan di
negara-negara berkembang disebut-sebut sebagai dampak dari kebijakan sejumlah
instansi internasional seperti IMF.
Pasca Perang Dunia II, IMF dan Bank Dunia didirikan dengan
tujuan membantu sejumlah negara Eropa dan Jepang yang rusak berat akibat
perang. Pada awal tahun 60-an, ekonomi sejumlah negara Eropa dan Jepang
mengalami perkembangan pesat, sehingga negara-negara tersebut tidak lagi
membutuhkan instansi tersebut. Setelah itu, negara-negara Asia, Afrika dan Amerika
Latin menggantikan posisi negara-negara Eropa dan Jepang dalam menerima bantuan
dari IMF dan Bank Dunia. Propaganda besar-besaran pun dilakukan oleh IMF, Bank
Dunia dan WTO yang didirikan pada tahun 1995, dengan slogan membantu
pembangunan negara-negara di dunia. Namun, slogan tersebut bertentangan dengan
fakta yang sebenarnya. Saat ini, kinerja instansi-intansi tersebut justru
menjadi penyebab terpuruknya ekonomi di Asia.”[5]
Pada umumnya, negara-negara berkembang membangun ekonomi
dengan cara meminjam uang dari Bank Dunia. Namun ketidakmampuan untuk membayar
hutang, bahkan untuk menutupi bunganya, membuat negara-negara tersebut terpaksa
mengajukan pinjaman ke IMF. Sebagaimana yang sudah diketahui, Bank Dunia dan
IMF mempunyai peran yang saling menopang. Berdasarkan ketentuan yang ada,
sebuah negara dapat memperoleh pinjaman dana dari Bank Dunia dengan syarat
telah menjadi anggota IMF. Untuk menggelontorkan dana pinjaman, IMF
mensyaratkan agar negara peminjam menerapkan sejumlah agenda ekonomi yang dikenal
dengan istilah penyesuaian struktur perekonomian. Kebijakan tersebut sengaja
diterapkan untuk menekan peran negara yang bersangkutan dalam mengatur
ekonominya. Negara-negara tersebut dapat memproleh pinjaman dengan syarat tidak
membatasi komoditi impor, memberikan keringanan pajak bagi investor asing yang
umumnya perusahaan multinasional, menekan upah dan tak mendukung industri dalam
negeri. Selain hal itu, mereka terpaksa menerapkan juga kebijakan privatisasi
dan memperbolehkan sumber-sumber alam dieksplorasi oleh swasta. Menutup bantuan
subsidi di bidang kesehatan, pendidikan dan transportasi adalah di antara
syarat lainnya yang diterapkan IMF untuk negara-negara peminjam.
Terkait hal ini, seorang ekonom asal Swiss, Mariannne
Hochuli ketika berbicara soal aturan WTO mengenai privatisasi, mengatakan,
"Di Chili, seluruh rumah sakit pemerintah mengalami krisis serius karena
tak dapat bersaing dengan rumah sakit swasta. Untuk itu, hanya orang-orang kaya
yang dapat menggunakan fasilitas mahal tersebut. Sedangkan mayoritas masyarakat
yang berada di bawah garis kemiskinan terpaksa menggunakan fasilitas rumah
sakit pemerintah yang sudah usang dan tak terawat. Pada tahun 1995 di Harare,
ibukota Zimbabwe, anggaran asuransi dan kesehatan dipangkas hingga tiga kali lipat.
Akibatnya, prosentase kematian perempuan yang melahirkan meningkat dua kali
lipat dalam kurun dua tahun." Penulis asal AS, Michael Parenti, ketika
ditanya soal peran investor perusahaan multinasional dan program bantuan
instansi-instansi internasional yang malah membuat sejumlah negara terpuruk,
mengatakan, "Dalam setengah abad terakhir ini, sejumlah industri dan bank
Barat melakukan investasi besar-besaran di kawasan Asia, Afrika dan Amerika
Latin. Mereka setiap minggu mengeruk keuntungan besar dengan mengeksplorasi
sumber-sumber alam tanpa terikat dengan aturan lingkungan hidup, dan menekan
upah buruh."
Meski investor asing mengeruk sumber alam habis-habisan,
namun negara-negara berkembang tetap dililit hutang dan dirundung kemiskinan.
Dengan berbagai cara, perusahaan asing berupaya memonopoli pasar negara-negara
tersebut. Sebagai contoh, para produsen AS yang didukung pemerintahan setempat
dapat menjual hasil pertaniannya ke berbagai negara dengan harga yang sangat
rendah. Sedangkan di negara-negara yang sedang berkembang, para petani tak
mendapat dukungan dari pemerintah, bahkan tidak memperoleh fasilitas dan alat
pertanian yang memadai. Dalam kondisi demikian, mereka tak dapat masuk ke dalam
persaingan.
Pada tahun 1990 an, pemerintah India mengambil kebijakan
ekonomi yang keliru dengan menerima pinjaman dari Bank Dunia dan IMF. Langkah
ini menyebabkan para petani negara tersebut dilanda kerugian yang tak sedikit.
Terlebih, 70 persen para petani dan buruh India tak mempunyai lahan dan tanah.
Berdasarkan data yang ada, jumlah petani dan buruh di negara tersebut mencapai
sekitar 400 juta orang. Ini bukanlah jumlah yang sedikit. IMF yang memangkas
bantuan pupuk menyebabkan biaya keperluan pertanian melonjak. Dengan demikian,
para petani di negara ini menderita kerugian besar. Christopher Kuck, dalam
bukunya menulis soal intervensi sejumlah negara yang didukung oleh
instansi-instansi internasional seperti IMF dengan sudut pandang lain. Dalam
bukunya, Kuck mengatakan, "Mengkhususkan lahan subur untuk menanam
komoditi ekspor membuat lahan untuk tanaman lokal kian menyempit. Selain itu,
hal tersebut menyebabkan kian meningkatnya kemiskinan dan kelaparan di kawasan
yang dieksplorasi."[6]
Fenomena ini mendorong warga meninggalkan lahan mereka dan
melakukan urbanisasi ke kota. Dengan demikian, populasi di kota-kota besar kian
membludak. Pada saat yang sama, mereka harus menyambung kehidupan, meski dengan
upah yang rendah. Sebagai contoh, buruh berupah rendah di Haiti yang bekerja
untuk perusahaan-perusahaan asing di negara tersebut, Mereka hanya digaji
dengan upah 11 sen per jam.
Selain itu dalam system perdagangan internasional terdapat
beberapa prinsip mengenai perdagangan internasional, yang diantaranya adalah :
a. MFN (Most-Favoured Nation):
Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang. Dengan berdasarkan prinsip
MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan
mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu
negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara
anggota lainnya.
b. Perlakuan
Nasional (National Treatment)
Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama
atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki
pasar domestik.
c. Transparansi (Transparency)
Negara anggota diwajibkan untuk bersikap
terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga
memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.”[7]
BAB IV
KESIMPULAN
·
Pesatnya
perkembangan ekonomi globalisasi dunia mengakibatkan setiap Negara untuk saling
memacu produksi barang dan jasa secara pesat, dalam hal ini eksport import
yang semakin waktu demi waktu semakin pesat
perkembangannya. Semakin menipisnya batas-batas kegiatan
ekonomi secara nasional maupun regional disebabkan oleh banyak hal, diantaranya
menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang semakin canggih
dan murah, lalu lintas devisa yang semakin bebas, ekonomi negara yang semakin
terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan organisasi
manajemen yang semakin efisien, dan semakin pesatnya perkembangan
perusahaan multinasional di hampir seantero dunia
·
Dalam hal perdagangan
internasional terdapat lembaga-lembaga yang menjamin utnuk adanya kepastian dan
keadilan dalam hal perdagangan, tukar-menukar barang dan jasa, dan sebagainya
seperti WTO, IMF, WORLD BANK dan lain sebagainya serta adanya prinsip-prinsip
multilateral dalam perdagangan internasional yaitu Prinsip Most Favoured Nation
(MFN), Asas Perlakuan Nasional, Transparansi, dan lain sebagainya
DAFTAR PUSTAKA
4.
Pengantar Makro dan
Perdagangan Internasional, Christoper Kuck
5.
http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm
[1]
http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-ekspor-impor-indonesia.html
[2] ibid
[3] ibid
[4] http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2023/tulustambunan.5.htm
[5] http://theuleck.blogspot.com/2009_07_01_archive.html
[6] Pengantar Makro dan Perdagangan Internasional, Christoper Kuck
[7] http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm
0 komentar:
Posting Komentar