KDRT DI INDONESIA
“Wajahnya kurus dan pucat, dengan rias muka tipis, tak mampu menutupi kegundahan hatinya. Begitulah kesan pertamanya, ketika pertama kali DR (25 tahun) datang ke Fahmina. Kami ajak dia langsung ke ruang rapat staff yang kini secara mendadak jadi ruang konsultasi. Sesekali matanya menengadah ke atas seolah menahan tangis. Dengan suara berat dan terbata-bata ia menceritakan kisah rumahtangganya, kekerasan yang dilakukan oleh suaminya dan kekhawatiran akan nasib anaknya. DR ingin bekerja. Tapi suaminya dengan alasan tidak jelas melarangnya. Suaminya berselingkuh, tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Suaminya sering memukul, bahkan disaksikan sang mertua serta ipar-iparnya. Ia mengadu kepada keluarga, namun tidak ada penyelesaian. Parahnya lagi DR juga punya catatan riwayat gangguan jiwa. Kekerasan dan pelecehan oleh suaminya sering DR terima”.
PEMBAHASAN
Sepanjang tahun 2006 angka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia dipastikan meningkat dibandingkan dengan tahun 2005. Temuan ini tentu saja cukup mengejutkan, mengingat telah diratifikasikannya UU No 23 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Komnas Perempuan dan Yayasan Mitra Perempuan melaporkan hasil penelitian mereka tentang kondisi KDRT di Indonesia. Komnas perempuan mencatat jumlah sejak tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah itu meningkat 61% pada tahun 2002 (5.163 kasus). Pada 2003, kasus meningkat 66% menjadi 7.787 kasus, lalu 2004 meningkat 56% (14.020) dan 2005 meningkat 69% (20.391 kasus). Pada 2006 penambahan diperkirakan 70%. Mitra Perempuan mencatat perempuan yang mengalami kekerasan psikis menduduki urutan pertama kekerasan dalam rumah tangga. Urutan selanjutnya, perempuan yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 63,99 persen, perempuan yang ditelantarkan ekonominya sebanyak 63,69 persen, kekerasan seksual sebanyak 30,95 persen.
Menurut Purnianti (Kriminolog UI dan anggota Mitra Perempuan) korban kekerasan yang mengalami kekerasan fisik, kemungkinan mengalami gangguan psikis. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa 9 dari 10 perempuan yang mengalami kekerasan fisik mengalami gangguan mental. Mitra Perempuan juga mengungkapkan, pelaku kekerasan dalam rumah tangga itu sebagian besar dilakukan suami atau mantan suami, yakni mencapai 79,76 persen. Sedangkan 4,95 persen perempuan yang mengalami kekerasan adalah anak-anak di bawah umur atau 18 tahun ke bawah (Kompas, 26 Desember 2006). Hampir 52% pelaku adalah suami, 23% karena tekanan ekonomi, sisanya karena pertengkaran, pemabok dan pelaku narapidana. Rekomendasi yang diberikan Mitra perempuan antara lain adalah penyadaran dan sosialisasi kepada masyarakat bahwa KDRT bukanlah sekedar persoalan internal rumah tangga, tetapi adalah perilaku kriminal dan harus diadukan ke polisi. Selain itu perlu dilakukan pendidikan publik mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan pendidikan itu difokuskan pada perempuan.
Komentar :
Menurut saya, Dari beberapa kasus yang dilaporkan ke Fahmina, jelas memperlihatkan betapa pentingnya advokasi terhadap korban KDRT, selain tentu penting juga untuk melakukan advokasi kebijakan. Fakta memperlihatkan kasus KDRT masih tinggi meski UU PKDRT telah disahkan. Meski banyak lembaga pemerintah memberikan ruang kepada korban KDRT, namun tetap saja korban KDRT merasa enggan ketika kasusnya dibawa ke ranah publik. Kasus-kasus yang dilaporkan di Fahmina misalnya, para korban umumnya berharap agar pelaku sadar dan menghentikan kekerasan fisik atau psikis yang dilakukan pelaku, lebih tinggi ketimbang diselesaikan lewat jalur hukum, yang biasanya merupakan pilihan pahit dan terakhir bagi korban. Tidak mudah bagi para aktifis untuk meyakinkan para korban agar mau melanjutkan kasus ini ke wilayah hukum. Kepercayaan kepada aktifis pendamping, bisa menjadi modal utama. Tapi jalur hukum memang bukan satu-satunya penyelesaian.
Sumber: Blakasuta Ed. 15 (Januari 2009)
Nama : FAJAR PERMANA SIDIQ
NPM : 41151010090243
Fakultas : Ilmu Hukum
UNIVERSITAS LANGLANG BUANA BANDUNG
0 komentar:
Posting Komentar